[caption id="attachment_366015" align="aligncenter" width="329" caption="dokpri"][/caption]
Dunia yang berwarna ini adalah samudra ilmu yang tiada batasnya, bahkan sebegitu kerdilnya manusia sampai ada perumpamaan pengetahuan yang dimiliki seseorang bagai memasukkan ujung jari pada air dipinggir lautan kemudian diangkat. Ilmu yang dimiliki manusia seperti setetes air yang ada diujung jari sedang luasnya ilmu itu bagai samudra itu sendiri. Perumpamaan ilmu Allah SWT kalau dituliskan maka apabila samudara itu sebagai tintanya sampai habispun tak akan cukup menuliskan.
Gagasan tulisan saya kali ini muncul ketika pada Sabtu dua hari yang lalu membaca atikel Pak Much Koiri akab disapa Pak Emcho memposting tulisan, Impian Literasi di Kampus Kaum Santri, ada kalimat yang membuat saya berhenti sejenak. Tepatnya pada point " Menulis dan membaca adalah saudara kembar keterampilan yang sama-sama harus ditunaikan. Wajib, bukan makruh atau mubah". Terus terang sampai kalimat tersebut pikiran saya melayang pada jaman kekhalifahan usai Baginda Rasulullah Saw wafat, saat itu usai perang Yamamah pihak kaum muslim didapati banyak yang mati syahid sekitar 70 orang. Tiba tiba keadaan ini membuat dua sahabat dekat Rasulullah yaitu Khalifah Abu Bakar dan Omar Bin Khatab merasa cemas apabila setiap peperangan jumlah kaum muslimin yang hafal al qur'an berkurang lama kelamaan kita suci ini akan hilang pula. Tindakan tepat yang harus segera diambil adalah membukukan agar terdokumentasi dan aman. Seorang sahabat yang ingatannya kuat dan tawadhu yaitu Zaid bin tsabit diberi tugas mengumpulkan wahyu Allah SWT melalui malaikat jibril untuk dibukukan. Semula Zaid bin Tsabit yang rendah hati ini berat hati mendapat tugas yang dahsyat ini, bahkan beliau berujar " kalau saja ada pilihan lain lebih baik dirinya ditugaskan memindahkan gunung sekalian daripada mengemban tugas yang sangat memberatkan ini". namun kedua khalifah tak patah semangat, segera menguatkan hati Zaid bin tsabit akhirnya terlaksanalah"proyek" mengumpulkan mushaf mushaf kitab suci ini. Pengumpulan dimulai dengan menyatukan mushaf yang sudah ada yang ditulis di pelepah daun kurma, media lainnya, juga mengandalkan ingatan / hapalan para sahabat lainnya. Sampai akhirnya al Qur'an kitab suci kaum muslim bisa kita lihat di akhir jaman ini.
Wahyu pertama yang di terima Baginda Nabi Muhammad SAW turun di gua Hiro memanglah Iqro atau baca, karena membaca adalah sumber pengetahuan. Tetapi cara membagikan kepada orang lain selain mengajarkan ada yang yang tepat karena melintasi masa yaitu ditulis. Tulisanlah yang akan mematrikan pikiran, maka kalau ada istilah setajamnya pikiran lebih tajam pena sangat saya sepakati. Karena usia manusia ada batasnya sedang usia tulisan bisa melampaui penulisnya.
Saya membayang tulisan yang ada di wall Kompasiana ini adalah jejak demi jejak kompasianer, taburan atikel di kanal Politik, Humaniora, Ekonomi, Fiksiana atau kanal yang lain adalah roncean / rangkaian keseharian setiap K-ers. Setiap tulisan memberi kesan seperti apa penulisnya, karakter tulisan tentu sejalan dengan karakter penulisnya. Tak ada yang salah dengan tulisan karena masing masing memiliki pembaca sendiri sendiri. Coba bagaimana jadinya apabila dunia yang kita huni ini tanpa tulisan betapa sepinya, tak ada imajinasi yang berkembang bahkan mungkin saja bisa terputus sebuah peradaban. Menurut saya pribadi tak ada cara berbagi yang indah dan semarak selain berbagi pengetahuan melalui tulisan. Semangat menulis tak ubahnya semangat berbagi, mari berbagi semampu yang bisa kita bagi. Semoga setetes ilmu yang masing masing rekan K-ers miliki kalau dipadukan atau dikumpulkan akan menjadi bertetes tetes. Bukankan air yang tertampung dalam satu gelas hakikatnya adalah kumpulan tets demi tetes air ? selamat menulis..salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H