Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Budaya Cuci Tangan dengan Sabun Sejak Kecil

4 Desember 2014   08:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_380441" align="aligncenter" width="588" caption="Anak Sedang Menangis (dokpri)"][/caption]

Saya yakin tak ada orang tuayang tega hati, melihat buah hati yang dikasihi sakit. Ibarat kata kalau bisa ditukar derita, biarlah rasa tak nyamanditanggungorang tuanya. Begitu besar rasa sayang orang tua, apapun akan dilakukan untuk sang anak. Banyak sudah kisah terpahat dalam cerita legenda, perihal anak yang berdosa dengan orang tua. Entahlah cerita rakyat yang terkenal itu sekedar fiksi atau kisah nyata, tetapi saya pikir tak ada salahnya menjadi pelajaran buat generasi muda. Bahwa menghormati dan menyayangi orang tua wajib hukumnya, bahkan sebuah pahala besar dipersembahkan untuk anak yang beruntung. Satu diantara sembilan pintu yang ada di surga, dikhususkan bagi anak yang berbakti pada kedua orang tua.

Sebesar apapun kasih sayang ayah bunda, pada hakikatnya anak adalah sebentuk pribadi jua. Mereka juga memiliki jalan kehidupan sendiri, memiliki "dunia" yang harus dirajut dan ditempuhnya sendiri. Kejadian demi kejadian yang akan dialami anak, tak semua perlu campur tangan kedua orangtuanya. Kalau sedikit sedikit orang tua turun tangan terhadap masalah anaknya, kasihan juga suatu saat sang anak terlambat terbangun jiwa mandirinya.

Ibarat sebuah kisah seorang anak yang mendapati kepompong bertransformasi, perasaan iba melihat kepompong berupaya merobek kulit yang melapisi. Akhirnya si anak merobek pelapis, dengan tujuan agar kepompong tak terlalu berat bebannya. Namun apa yang terjadi pada waktu berikutnya, justru kepompong gagal menjadi kupu kupu yang sempurna. Saat Kepompong tiba waktu keluar dari "pertapaan", kondisinya cacat tak bisa terbang. Kedua sayapnya menjadi tak indah mempesona, tak sedap dipandang mata pun tak mampu digunakan terbang.

Demikian pula rasa sakit atau tantangan yang dihadapi seorang anak, hakikatnya memang untuk penguatan mental si anak itu sendiri. Orangtua yang membekali diri dengan ilmu parenting, akan tahu kapan saatnya turun tangan atau kapan memberi kepercayaan anak.

[caption id="attachment_380443" align="aligncenter" width="595" caption="Puisi Kahlil Gibran (dokpri)"]

14176298861569216654
14176298861569216654
[/caption]

Sebuah puisi tentang anak yang melegenda dan melekat di hati saya, dari buku berjudul "NABI" milik pujangga kenamaan Kahlil Gibran

Anakmu bukan milikmu

Mereka putra putri sang hidup yang rindu pada diri sendiri,
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,

Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk
pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi.

Memang tak dipungkiri masa depan anak anak, akhirnya mereka sendiri yang menjalani. Namun orang tua tak bisa lepas tangan dalam pengasuhan, perlu keteladanan yang terus ditanamkan semasa kecilnya. Seperti halnya benih tanaman akan layu atau bertunas, tergantung pemiliknya apakah rajin menyiram dan memupuk. Kalau suatu waktu akar sudah muncul pada batang yang ditanam dalam tanah, niscaya pohon akan mampu tumbuh dan siap mencari makan sendiri.

Penumbuhan kebiasaan kebiasaan baik sejak kecil, menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua. Agar kelak ketika si anak sudah merantau, kebiasaan di rumah (yang baik) akan dibawanya menghadapi "dunianya". Penumbuhan kebiasaan yang paling efektif dan mengena, adalah melalui keteladanan dari ayah bundanya. Mustahil rasanya mengingini anak berucap baik dan sopan, sementara ayah ibunya tak segan mengumbar caci makian.

******

[caption id="attachment_380445" align="aligncenter" width="588" caption="Anak Tidur (dokpri)"]

1417630029137174374
1417630029137174374
[/caption]

Saya masih ingat ketika anak pertama belum genap dua tahun, ada kebiasaan yang perlu usaha ekstra menghilangkan. Terutama saat perasaannya sedang tidak nyaman, jari tengah dan telunjuk langsung dimasukkan ke dalam mulut.

Kebiasaan ini terjadi biasanya saat bertemu orang yang belum dikenalnya, misalnya diajak ke resepsi pernikahan kemudian ada orang yang menyapa. Saudara atau kenalan yang "gemes" tak tahan menggodanya, bisa ditebak yang terjadi menangis adalah kelanjutannya. Kalau sudah nangis 'kejer' biasanya susah dihentikan, perlu waktu menyepi memberi ruang agar tenang. Biasanya saya mengalah mencari tempat agak minggir, karena jagoan satu ini lebih dekat dengan saya. Menyerahkan tugas ngobrol dengan saudara kepada istri, saya gendong si kecil segera kembali setelah semua teratasi. Membujuk dan memberi rayuan dengan pengertian, bahwa yang baru dilihatnya adalah paman atau teman dari ayah bundanya.

Sambil menangis otomatis dua jari "andalan" masuk ke dalam mulut, dan sangat susah untuk dilepaskan. Kalau jari tengah dan telunjuk dipaksa keluar mulut, menangisnya akan semakin menjadi. Kemudian istri menyiasati kebiasaan ngemut jari, dengan mencuci tangannya agar bersih.

Kebiasaan memasukkan dua jari berlanjut ketika menjelang tidur, sang ibu selalu berupaya rutin mencuci tangan si kecil sebelumnya. Harapannya tentu agar jari yang masuk mulut itu bersih terjaga, pikir sang ibu kuman akan hilang dengan cuci tangan.

[caption id="attachment_380446" align="aligncenter" width="605" caption="Obat Mencret Anak (dokpri)"]

1417630084869220388
1417630084869220388
[/caption]

Suatu pagi sang ibu kaget melihat si kecil muntah muntah, kemudian diikuti mencret mencret segala. Kebetulan dirumah disediakan obat bubuk pereda mencret, maka segera diminumkan obat itu agar kondisi badan membaik. Namun tak dinyana obat itu bekerja tak seperti biasanya, tak lama setelah minum obat tiba tiba semua yang masuk lambung muntah keluar lagi. Kebetulan saat kejadian saya sedang ngantor, kendaraan roda dua satu satunya saya pakai jadi istri di rumah kebingungan. Yang dilakukan istri adalah berupaya supaya perut anak terisi, biar badan si kecil tidak terlalu lemas dibuatkan bubur.

Istri yang memilih profesi sebagai ibu rumah tangga, sengaja tak langsung mengabari saya. Ingin mengatasi dulu sendiri masalah yang ada, agar sang suami tak kepikiran di kantor. Karena ketidaktahuan pula sampai rumah saya agak larut, pimpinan mengajak meeting mendadak limabelas menit sebelum waktu pulang kantor. Begitu sampai rumah sekitar jam setengah sembilan, saya mendapati anak sudah tidur. Namun ketika saya perhatikan cahaya wajahnya berbeda, agak pucat dan sedikit tirus di pipi. Akhirnya dengan menahan lelah dan sesenggukan, istri menceritakan kejadian sesiangan di rumah.

[caption id="attachment_380447" align="aligncenter" width="546" caption="Anak (dokpri)"]

1417630163960758635
1417630163960758635
[/caption]

Setelah mencret dan muntah muntah, sambil menggendong istri membuatkan nasi bubur. Agar pencernaan si kecil tak terlalu berat tugasnya, namun butiran nasi yang sedemikian lembut tetap dimuntahkan. Mungkin karena kecapekan akhirnya si kecil terlelap, luruh hati saya mendengar kisah yang dituturkan istri. Semalaman saya pandangi wajah polos kesayangan, ingin rasanya menyerap semua sakitnya biar saya saja yang menanggung.

"Besok kita bawa ke dokter saja ya bunda" ujar saya malam itu sebelum kami terlelap.

Istri yang rautnya terlihat ngantuk dan jelas kecapekkan, hanya mengangguk setuju tanpa bersuara. Dua orang tersayang  saya pandangi bergantian dalam lelapnya, hanya tiga kata yang sangat mereka butuhkan. Adalah tidur, tidur dan tidur, sayapun meski berusaha menggagahkan diri ternyata juga membutuhkan tidur.

*******

[caption id="attachment_380448" align="aligncenter" width="605" caption="RSIA (dokpri)"]

14176302651917125308
14176302651917125308
[/caption]

Keesokkan hari saya putuskan ijin tidak masuk kantor, demi membawa buah hati ke rumah sakit Ibu dan Anak. Kebetulan letak RSIA berada tak jauh dari tempat kami tinggal, dengan motor kami bertiga meluncur ke tempat tujuan. Setelah mendaftar dan menunggu nomor antrian, anak dominan berada dalam gendongan saya. Biarlah sang ibu terlepas tugasnya hari ini, badannya sudah lelah kemarin seharian si kecil ada di gendongannya.

Beberapa pasien ada di nomor urut atas kami sudah selesai, akhirnya kami dipanggil masuk ruang praktek. Pak Dokter memeriksa kondisi si kecil dengan alat yang diletakkan di meja, dengan cekatan dan terlihat menguasai pekerjaannya mendeteksi penyakit anak kami. Beberapa diagnosa dan nasehat Pak Dokter yang masih muda, kami dengarkan dan kami turuti . Tak sampai tiga puluh menit kami keluar ruangan, dengan selembar resep yang harus kami bawa ke apotek di sudut ruangan. Sebotol obat anti mual kami tebus sudah, dan beberapa pesan dari Pak Dokter kami camkan.

[caption id="attachment_380449" align="aligncenter" width="581" caption="Apotek (dokpri)"]

1417630456387146610
1417630456387146610
[/caption]

[caption id="attachment_380451" align="aligncenter" width="521" caption="Obat Anti Mual Anak (dokpri)"]

14176305481904433767
14176305481904433767
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun