Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Bercermin dan Meretas Hikmah

20 Mei 2015   06:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_418739" align="aligncenter" width="576" caption="ilustrasi (dokpri)"][/caption]

Hari selasa ini nyaris seharian saya di jalanan, untuk beberapa urusan pekerjaan. Meskipun saya tinggal penyangga ibukota, sebagian besar urusan berada di megapolitan ini. saya relatif hafal wilayah kota besar nomor satu ini, sekaligus cukup familiar dengan jalan pintasnya. Jakarta dengan kepadatan tak terhindarkan, adalah rutinitas yang lama kelamaan terasa biasa biasa saja. Agar janjian tak telat biasanya saya memilih, menyiasati berangkat lebih awal daripada mepet. Kerapkali setiap janjian saya lebih memilih menunggu, ketimbang ditunggu atau terlambat datang. Karena saya berangkat lebih awal, maka tak terlalu buru buru di jalanan. Hal yang lumayan kerap saya nikmati adalah, ketika memperhatikan kejadian kehidupan di sekitar diri.

Bekerja adalah Sunatullah bagi umat manusia, agar keberlangsungan kehidupan tetap terjaga. Berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain, adalah hukum alam yang terus berlangsung. Manusia yang berdiam diri sama artinya dengan, menelantarkan potensi besar dalam dirinya. Manusia yang tak mau berupaya maksimal, sama artinya dengan memasung kreatifitas dirinya. Jangankan kita manusia yang disempurnakan Sang Pencipta, binatang yang mengandalkan naluri saja membuat pertahanan. Hewan berkaki empat mengendus tempat sampah, demi mencari apa yang bisa dimakan. Induk ayam hilir mudik diikuti anak anaknya, cakar sang induk mengorek tanah mencari makanan. Bintang tanpa akal dan pikiran, dianugerahi kemampuan bertahan. Apalagi manusia sebagai mahluk sempurna nan mulia, dianugerahi akal pikiran untuk berkarya. Cipta karsa dan karya hanya dimungkinkan pada diri manusia, sekaligus membedakan dengan mahluk hidup lainnya.

Kekaguman demi kekaguman dalam diri ini bermunculan, ketika melihat sesama bertahan dalam kefitrahan. Mereka yang membanting tulang semampunya, dengan jalan yang lurus tak mengingkari kodrat. Masa kini dengan bertaburan pilihan hidup, tak jarang banyak manusia mengambil jalan pintas. Mereka yang berjas mahal dan berdasi, tetapi banyak diantara mereka yang "melacurkan" diri. Tak lagi peduli baik dan tidak baik, tak lagi peduli mana yang haq dan bathil. Untuk sepotong gengsi dan materi, memangkas hati nurani diri. Mereka ada yang membela diri dengan, "yang haram saja susah apalagi yang halal". Sebenarnya kalau mau mendebat bisa saja, "kalau sama sama susah kenapa gak milih yang halal".

*******

[caption id="attachment_418740" align="aligncenter" width="588" caption="Dokumen Pribadi"]

14320798531784859476
14320798531784859476
[/caption]

Terik menjelang senja ini saya banyak belajar, sekalian banyak introspeksi dan "mencuri" hikmah. Seorang bapak penjahit keliling, mengajak anak gadisnya (menurut perkiraan saya) belum belasan tahun. Lelaki perkasa ini dengan segenap kasih sayang, menuntun mesin jahit dengan anak diatasnya. Pemandangan yang sungguh menyentuh kalbu, saya yang sudah melewati mereka terpaksa berhenti. Menunggu sejenak dipinggir jalanan kampung, untuk candid camera mengabadikan moment istimewa. Saya belajar dari lelaki tak kenal nama ini, mempersembahkan terbaik untuk anak istri. Melalui usaha terbaik dan keringat terbaik, karena kelak nafkah yang dihasilkan sebagai kepala keluarga diminta pertanggungjawaban. Saya akan merasa malu dengan bapak tukang jahit ini, tak ada gengsi membuang prestise demi nafkah terbaik itu.

Roda dua saya kembali berputar, menyusuri jalanan kampung menuju pulang. Melewati sebuah danau jernih, lagi lagi tampak seorang dengan jaring jala. Dengan tekun menunggu di pijakan bambu, demi mendapatkan ikan gabus dan mujaer. Tak sampai lima atau sepuluh menit sekali, jala sekitar tiga kali tiga meter diangkat. Ikan ikanpun melompat ke atas air, kemudian diambil memakai jaring kecil. Semua dilakukan dengan ketekunan, demi anak istri yang menunggu di rumah. Baju yang seadanya bersandal jepit tipis, membuat kesederhanaan semakin sempurna.

14320798891443368147
14320798891443368147
Dokumen Pribadi

Saya yakin pasti banyak pelajaran lain, yang tak mampu tertangkap karena kurang pekanurani. Setidaknya kisah hari ini membuat saya tak henti bersyukur, bisa bersua dan mengambil hikmah, sekaligus menjadi cermin bagi diri, ternyata diri ini masih harus terus berbenah. Peristiwa dalam perjalanan hari, betapa sebenarnya sebagai ajang meretas hikmah. Nilai nilai kehidupan betebaran bisa melalui orang lain, atau melalui serangkaian peristiwa dialami sendiri. kita masing masing yang mau atau tidak, memungut pelajaran dari sensitifitas nurani. Semakin sering mengasah kepekaan, maka semakin menangkap gelombang hikmah tersebut. Bukankah alam semesta diciptakan Sang Pencipta, menjadi pelajaran tak usai bagai manusia yang berpikir. -maka nikmat mana yang kau dustakan- wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun