Sepotong kisah sederhana, terjadi di tempat sederhana. Bersettingmakam almarhum ayahanda, yang dikebumikanbeberapa tahun lalu.Hanya kisah biasa yang menjadi akumulasi, setelah sekian puluh tahun kisah berangkaian. Hanafi mendengar cerita dari sang istri, saat menemani ibu mertua berziarah.
Bu Musriduduk bersimpuhtanpa alas, di samping nisan bertulis nama almarhum suami. Siang di areal pemakaman pelosok kampung, tetaplah sunyi, hening dengan atmosfir yang lain. Semula suara ibu lirih dengan bacaan surat al fatihah, selebihnya rangkaian doa tak jelas terdengar. Bahkan angin yang membelai dedaunan,seolah tak diijinkan mengupingnya. Suara itu tenggelam berbalut sepi, hanya dirinya dan Sang Pencipta mendengar apa yang diucap.Mata Bu Musri terpejam mengambang, beriringembun bening menyusuri pipi. Doasemakin dalam khusyutenggelam, menyatu sunyi menyusuri partikel dan udara. Linangan airmata menderas dalam diam, gerakan bibir perlahan bergetar. Dalam satu tarikan nafas panjang, permohonan terasa mengalir tenang dan lancar.
Dalam diam sang menantu terpana menyaksikan, bu Musri menyatu dalam dunia tanpa warna tanpa suara.
[caption id="attachment_388009" align="aligncenter" width="530" caption="illustrasi (dokpri)"][/caption]
”Ibu begitu khusyu dalam doanya" Istri Hanafi bercerita" Mungkin Bapak telah mempersembahkan cinta sejati ... ya ayah?”.
Hanafi mengangguk pelan menatap langit langit kamar, kadang tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Dalam diamnya seolah ada kekuatan besar, menyeret memorinya pada masa terdahulu.
Konon kedua orang tuanya menikah menjelangtahun 60-an, tanpa pacaran sebelumnya. Bu Musri lulusan Sekolah Dasar, Pak Sukamad sang suami adalah gurunya. Perjalanan hidup berdua dilalui, hampir setengah abad mengayuh bahtera rumah tangga. Pak Sukamad menghadap sang Khalik, setahun sebelum genap lima puluh tahun usia perkawinan.
Suami istri yangterpisah karena maut, kenyang sudah dengan asam garam, berbaur sedih dan bahagia kehidupan.Berenam anaklaki laki lahir, meramaikan panggung rumah tangganya. Citarasa permasalahan lengkap tersaji, onak duri dan badai telah dihadapi.
Periode tahun 80-an adalah masa peras keringat, keenam anaknya duduk di bangku sekolah. Saat tahun ajaran baru, semua anak naik dan pindah sekolah. Menuntut biaya yang tak sedikit, episode ini adalah masa pembuktian. Tanggung jawab besar sebagai orang tua, bahu membahu pasangan suami dan istri. Semua anaknya tak kenal uang jajan, apalagi sekedar jalan dan kongkow. Pagi hari berangkat sekolah, siang hari pulang ke rumah begitu rutinitas terjadi. Memang tak semua anak mematuhi, namun rasa sayang ayah dan ibu tak terkurangi.
Hanafi hanyut dalam renungan, saat sang istri mulai lelap bersama buah hati. Bagai cerita bersambung, kenangan itu bertubi menghampiri. Sebagai bungsu Hanfi adalah saksi hidup perjuangan itu, saat pontang panting orang tua mencukupi kebutuhan. Bu Musri terpaksa terpeleset, ketika melompati parit kecil saat mencari hutang. Pak Sukamad tak mengambil beras jatah koperasi, guna menebus pinjaman pinjaman bulan lalu. Demipenghematan ayahberjalan kaki,saat pergi dan pulang mengajar di desa sebelah. Permasalahan keuangan hal yang kerap terdengar, mengingat Pak Sukamad seorang guru SD, istrinyapedagang kelontong di pasar kampung. Banyak lagi kejadian yang dilalui, entah untuk peristiwa yang biasasaja atau penuh gejolak. Semuaterangkum rapi, menjadi sejarah perjalanan hidup yang terjalani.
Membaca situasiperekonomian orang tua, Hanafi memutuskan bekerja selepas SMA. Enggan rasanya kembali menambah beban, di pundak ayah dan ibu yang mulai menua.Sebelum ayahanda menghembuskan nafas terakhir, berenam anaknya sudah berkeluarga. Hidup tersebar membangun rumah tangga, mempersembahkan 12 cucu bagi kakek neneknya.
Masa bergulir hari berganti, Hanafi dan Istrikini sedang mengayuh biduk rumah tangga. Bercermin yang telah dilalui ayah dan ibu, memicu semangat belajar menghargai dantoleransi.Perjalanan kedua orangtuanya adalah kisah nyata, sekecil apapun kisah musti dimaknai. Suatusaat siap menjadi memori, yang tak ternilai harganya bagi anak keturunan.
******
Seminggu sudah peristiwa di makam sudut kampung berlalu, kembalimenjadi rutinitas keseharian yang teramu demikian sempurna.
Malam dingin berselimut kantuk, sulungnya merengek minta diantar buang air kecil. Hanafi dengan mata berat mengangkat tubuh kecil anaknya, sebelum sang istri lebih dulu terbangun. Usaipulang kerja capek di badan belum sepenuhnya hilang,istrinya minta diantar membeli lauk untuk makan malam, sore tak sempat masak karena ada acara. Ketika pengeluaran musti dihemat, mengingat pemasukan bulanan sedang menurun. Hanafi dan istri memutar otak menyiasati, agar kebutuhan dapaur tetap terpenuhi.
Belajar dari ayah dan ibu, pasangan muda ini melihat setiapkejadian sebagai peluang. Mempersembahkan benih kesejatian kasih agar terus tumbuh, bertunas dan berkembang antara keduanya. Estafet kehidupan berumah tangga, sedang ada di tangan Hanafi dan istri. Berdua ibarat berada di tengah samudra, merasakan pasang surutnya gelombang lautan. Sedihgembira merajut jalan keluar,agar setiap persoalan berhasil dihadapi. Belajar dari kisah ayah dan ibu, seberat apapun masalah akhirnya bisa dilalui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H