Pada forum diskusi atau beranda media sosial, kerap saya mendapati dua kubu  berseberangan pendapat. Polemik antara istri bekerja atau menjadi ibu rumah tangga (IRT), rasanya ibarat lingkaran tak memiliki ujung dan atau pangkal. Â
Karena opini ini dilihat dari dua sudut pandang berbeda, masing masing orang (maunya) membenarkan pendapat sendiri. Padahal apa guna dipertentangkan, toh resiko pilihan dirasakan sendiri oleh si pembuat keputusan.
"Sayang banget dong, sudah sekolah tinggi tapi ujungnya jadi IRT" ujar wanita karier
Sudut pandang ini bisa saja benar, tentu menurut pendapat istri yang memilih bekerja. Dengan aktivitas ibu yang pekerja kantoran, sebagai cara menerapkan disiplin ilmu selama di bangku sekolah. Benefit yang didapatkan berupa gaji bulanan, sangat bisa untuk mendukung keuangan keluarga.
Logikanya juga sangat masuk akal, kalau pasangan suami dan istri bekerja maka akan memiliki double income. Alhasil pengeluaran keluarga disokong berdua, tentu bisa memenuhi lebih banyak kebutuhan rumah tangga.
Pandangan ini juga tidak bisa disalahkan, si ibu bisa meringankan beban suami dengan caranya sendiri. Mengurus rumah dan mengasuh anak sendiri, sehingga budget untuk asisten rumah tangga dan baby sitter bisa dipangkas atau ditiadakan.
Toh kalaupun suami memberi uang lebih atas totalitas istri di rumah, yang dikasih istri sendiri alias bukan orang lain.
Sebaiknya  pilih yang mana?
Pilihan mana saja silakan, karena tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar, ini bukan tentang salah dan benar. Hukum kehidupan sangat adil, apa yang didapatkan seseorang sejajar dengan yang diperbuat.
Mau jadi istri yang pekerja, monggo silakan saja bebas tidak ada yang salah dengan istri yang berkarier. Atau mau menjadi ibu rumah tangga, sangat diperbolehkan karena itu hak asasi yang tak bisa diganggu gugat.
Semua pilihan membawa resiko sendiri sendiri, tak perlu ada yang dipertentangkan. Masing-masing kita membawa akibat sendiri sendiri, pertentangan akan menghabiskan energi saja.