[caption id="attachment_403926" align="aligncenter" width="638" caption="Taman Mini Indonesia Indah (dokpri)"][/caption]
Pada masa kecil di kampung halaman,ada satu nama tempat rekreasiyang sangat familiar. Betapa tidak beberapa buku pelajaran mengulas tempat ini, muasal, sejarah dan segala yang yang berkaitan dalam satu bab khusus. Saat ulangan harian di sekolah tiba, dibaca dan dihapal berulang agar mendapat nilai bagus. Kami anak anak desa berseragam merah hati, seolah mengenal padahal belum mengunjungi. Betapa hebat dan megah terbangun dalam imajinasi, sebuah tempatwisata edukasi budaya teramat istimewa. Bahkan setiap ada teman pergi ke ibukota, tak sabar mendengarkan cerita pengalaman seru. Sembari berdebar menunggu kisah, tentang jalan jalan di tempat terkenal yang menjadi ikon ibukota.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) nama tak asing, bahkan jauh sebelum kaki kecil saya menjejakkan. Saya sendiri berkesempatan pergi ke tempat ini, baru setelah duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Saat itu Paman yang bekerja di Bekasi sedang lamaran, keluarga besar di kampung datang pada prosesi sakral. Demi penghematan Ibu datang tanpa ayah, membawa serta tiga diantara enam anaknya bersama saudara lainnya. Selama perjalanan di Bus antar kota saya dipangku ibu, dua kakak dipangku paklik dan bulik dari garis ibu. Alasannya sangat simple, biar gak bayar karcis Bus. Nyatanya memang benar yang terjadi, kondektur hanya menarik satu karcis. Dua kakak saya juga tidak bayar, karena berada di atas pangkuan orang dewasa. Perjalanan dengan waktu tempuh sekitar delapan belas jam, dari sudut kota kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Semua kami rombongan lampaui, sampai panas kursi yang diduduki.
"Buk, nanti kita ke Taman Mini yo" usul saya
"Lihat saja nanti, moga moga Paklikmu ajak jalan jalan ke sana" jawab ibu tak pasti
Saya dan dua kakak berharap cemas, sambil besar harapan tak melewatkan berkunjung ke lokasi impian. Konon sebagai bukti sudah pergi ke Jakarta, adalah dengan bangga bercerita ke Taman Mini. Keadaan terjadi begitu saja antar kami anak kecil, sebagai sebuah kesepakatan tak tertulis.
Sehari setelah prosesi lamaran usai, dari Bekasi segera melaju ke beberapa tempat wisata di Jakarta. Meski tak kami ucapkan Paklik membaca gelagat dan keinginan kami anak anak, dengan mobil pinjaman diajak kami keliling Jakarta. Pada era 80-an kala itu ibukota sudah ramai, namun kendaraan belum semacet saat ini. Kami serombongan dari kampung,dibuat takjub dengan ibukota. Tentu perbandingannya sangat njomplang, dengan desa kecil yang kami tinggali. Gedung bertingkat berjajar di sepanjang jalan protokol, dan tempat tempat yang sering kami lihat di televisi ada di depan mata. Bagai mimpi yang menjelma nyata, semua tersaji dan disaksiskan secara langsung. Hingga akhirnya keluar pernyataan yang dinanti, rombongan diajak ke Taman Mini Indonesia Indah.
Sebagai anak SD kelas empat saat itu, pengetahuan tentang TMII sudah didapati pada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian ada ulasan lebih detil tentang TMII, pada pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).Masih jelas diingatan saat malam menjelang ulangan, menghapal Bab Khusus tentang TMII.
Meskipun baru sebatas pengetahuan, diusia baru lepas sepuluh tahun sudah hapal di luar kepala. Pengagas pembangunan TMII adalah Ibu Negara saat itu, yaitu Siti Hartinah lebih akrab dengan sebutan Ibu Tien Suharto. Cita cita mulia ibu Negara cukup visioner, ingin membangkitkan rasa bangga dan cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia. Pembangunan yang disebut Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", dimulai tahun 1972 oleh Yayasan Harapan Kita. Pada areal seluas 150 hektare dibangun sebagai representatif Indonesia, kemudian diresmikan pada tangal 20 april 1975.
Masih terekam betapa berdebar hati ini memasuki gerbang utama, antara percaya dan tak percaya dengan kenyataan. Seorang anak kecil dari sudut desa, berkesempatan menghirup udara dan menginjak tanah TMII. Terpatri dalam bayangan kelabu, menjelajahi setiap anjungan rumah adat dari seluruh daerah di Indonesia. Teater Imax Keong Mas dan menjelajah aneka museum berjajar, menatap takjub penuh kekaguman.
Keesokkan hari ketika pulang kembali ke kampung, dada ini serasa membusung dihadapan teman sekelas. "Aku sudah ke Taman Mini Indonesia Indah" ujar saya dari bangku tempat duduk.
Beberapa teman bergegas duduk merapat, ingin menyimak cerita yang sebenarnya pernah didengar. Hal serupa juga saya lakukan sebelumnya, ketika teman yang lain pulang dari Ibukota. Siapa nyana kedatangan ke Jakarta kali pertama, tak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat yang sama. Kemudian setelah dunia kecil ditinggalkan, kunjungan berikut terjadi setelah berseragam abu abu.
****
Masa berlari begitu kencangnya, hingga takdir-NYA menentukan kuasa. Merantau di Ibukota menjadi jalan hidup, tak terasa satu dasawarsa lebih menghirup udara kota penyangga. Bahkan sudah berkeluarga beranak pinak, dan berpindah Kartu Tanda Penduduk. Lazimnya kaum urban, hampir 90 persen aktivitas berada di Jakarta. Hampir semua pekerjaan dan urusan, dilakukan di kota terbesar dan terpadat ini. Pagi berangkat menembus kemacetan, menjelang malam sampai di rumah. Taman Mini Indonesia Indah beberapa kali disambangi, menjadi pengobat kangen pada masa kecil.
Ketika ruang dan kesempatan melepas penat datang, bersama istri, anak -anak, dan kerabat mengunjungi TMII. Sejurus kenangan masa muncul kembali, kala menyusuri sepanjang jalanan dan obyek wisata. Taman Mini Indonesia Indah dengan kekhasan, yang masih dipertahankan dan dilestarikan sampai sekarang.
Anjungan Daerah
[caption id="attachment_403939" align="aligncenter" width="562" caption="Anjungan Sulawesi Utara (dokpri)"]
[caption id="attachment_403940" align="aligncenter" width="518" caption="Anjungan papua (dokpri)"]
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan, dengan suku bangsa yang tersebar di ribuan pulau. Saat ini tercatat 33 Provinsi dimiliki, dengan adat dan tradisi yang berbeda di setiap provinsi. Setiap suku memiliki bentuk dan corak bangunan yang berbeda, biasanya bangunan pembuatannya dilatarbelakangi kondisi daerah dan budaya masing masing. Maka tak mengherankan ada rumah dibuat panggung, ada pula yang beratap dedaunan, pun ada yang bergenting menjulang.
Sebuah danau berada ditengah areal TMII, apabila disaksikan dari atas layaknya peta kepulauan Republik Indonesia. Pengelola menyediakan kereta gantung, pengunjung bisa menyaksikannya dari udara. Anjungan provinsi dibangun di sekitar danau, dibagi dalam beberapa zona yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Selain bangunan rumah adat, dalam anjungan juga menyajikan pakaian adat, busana khas pengantin daerah bersangkutan, artefak etnografi seperti senjata khas, perabot, kerajinan tangan, dan banyak lainnya.
[caption id="attachment_403927" align="aligncenter" width="539" caption="Anjungan Sumatera Barat (dokpri)"]
Setiap anjungan memiliki panggung amfiteater atau auditorium, guna menggelar pertunjukkan kesenian tradisional setiap daerah. Ketika melewati beberapa anjungan daerah, terpasang papan atau spandukberisi agenda kesenian yang diadakan secara berkala. Sebagai wujud dan upaya setiap Pemda, untuk menghidupkan kesenian tradisional unggulan. Saya sendiri beberapa kali sempat hadir, menyaksikan gelaran kesenian di anjungan yang ada.
[caption id="attachment_403942" align="aligncenter" width="639" caption="Jadwal Pentas Seni (dokpri)"]
Efek dari modernisasi adalah serbuan budaya asing, kondisi ini suka tidak suka tak mampu dihindarkan. Apabila tak dibarengi dengan usaha yang sungguh sungguh, untuk mengedepankan budaya negeri sendiri. kita semua cemas yang bakal terjadi pada generasi mendatang, kehilangan jati diri dan asing dengan budaya sendiri. Sebagai sebuah bangsa pengalaman getir telah dialami, claim kepemilikan atas tari, lagu, batik oleh negeri tetangga. Pada sudut pandang ini TMII patut diacungi jempol, niat mulia serta upaya melestarikan kekayaan tak ternilai harganya nyata dilakukan.
Bangunan keagamaan
[caption id="attachment_403938" align="aligncenter" width="555" caption="Wihara Budha (dokpri)"]