Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ada & Meng"ada"

29 Agustus 2014   16:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14092802481087136637

Sehari kemarin wall kompasiana menampilkan HL kabar duka kepergian super Admin, beberapa tulisan dari sahabat lain yang mengenal secara pribadi sebagian besar merupakan keluarga besar Kompas juga memposting tema serupa. Saya pribadi belum pernah bertemu apalagi mengenal dengan almarhum, belum pernah bersapa atau berada dalam satu ruang dan waktu yang sama apalagi memiliki kepentingan yang serupa. Namun getaran dari setiap tulisan yang saya tangkap dan rasakan dari postingan dari beberapa sahabat  adalah perasaan kehilangan, dan tentu kenangan yang pernah dilalui bersama, berikut kesan terhadap sosok almarhum Bpk Taufik H. Mihardja. Mungkin juga seketika peristiwa yang terkesan biasa saja, kebersamaan yang wajar, interaksi keseharian, canda bahagia bersama almarhum menjadi sangat mengemuka dan menguasai benak. Saya pribadi berdoa dan berbesar harap setiap rangkaian kebaikan yang Almarhum torehkan akan berbalas ganjaran tertinggi yaitu surga aminnn. Seperti janji Sang Pencipta yang tak akan luput membalas sekecil apapun kebaikan hamba-NYA meski sebesar biji sawi.

[caption id="attachment_355994" align="aligncenter" width="560" caption="kompasiana.com"][/caption]

Sembari berempati pikiran saya seketika berbalik ke peristiwa yang saya alami beberapa tahun silam, ketika ayahanda saya berpulang ke alam baqa rasa duka mendalam terasa menyelimuti hati saat itu. Bertubi tubi kenangan seolah memutar bioskop bergambar hitam putih buram perihal peristiwa yang pernah saya alami bersama almarhum ayah. Kejadian yang waktu itu terasa biasa biasa saja tiba tiba menjadi sangat berarti dan menguras emosi, mata ini tak juga kering ketika terngiang nyanyian yang disenandungkan ayahanda ketika menghantar saya terlelap, pun ketika dengan telaten mengusap usap punggung kecil saya ketika mengajak bangkit dari tempat tidur di pagi hari mengingatkan waktu shalat subuh sudah tiba dan berentetan kisah ketika saya hendak merantau kemudian perhatiannya ketika saya dilanda duka dan banyak hal yang terlalui bersama. Sesaat selepas kepergian ayahanda semua yang ditinggalkan menjadi begitu berarti dan menyimpan selaksa memori, kesederhanaan seorang guru SD tiba tiba menjadi sebuah keistimewaan begitu mengenang almarhum, membayang sepatu beliau yang sudah tipis solnya dan kusam warna kulit hitamnya, sisiran klimis berminyak rambut cair murahan, kesetiaan membelah pematang sawah setiap pagi menuju sekolah di desa sebelah menjadi pengukuhan tentang pengorbanan almarhum demi kami anak anaknya. Bahkan motor buntut yang dibeli dari sedikit demi sedikit tabungan yang dikumpulkan direlakan dipakai anak tertua, almarhum memilih untuk berjalan kaki sampai masa pensiun itu tiba.

Secara jasad memang ayahanda sudah tiada namun kenapa tiba tiba kehadirannya justru kuat di hati justru setelah ketiadaan itu tiba. Bahkan sampai saat ini setelah hampir delapan tahun almarhum berbaring dalam tidur panjangnya perasaan ada itu masih lekat di sanubari. Setiap mengingatnya semakin membiru perasaan rindu, Saya jadi merenung akankah "ada" itu sejatinya abadi. Karena kita manusia sebelum lahir ke dunia sejatinya juga sudah ada di alam lain, kemudian ditiupkan ruh itu ke rahim ibu kita masing masing dan lahir ke alam dunia berupa makhluk yang bernama manusia lengkap dengan memiliki ruh dan jasad tentu saja akal yang menyempurnakan. Maka ketika jatah di alam dunia ini sudah usai harus kembali ke alam ruh, jadi esensinya kita kembali lagi ke alam yang sudah kita huni sebelum kehadiran di dunia. Dunia menjadi ladang bercocok tanam untuk menguji kualitas kemanusiaan diri, siapa yang menanam budi akan meninggalkan sawah dan ladang kebaikan. Adanya di dunia niscaya akan meng"ada" di hati sahabat dan kerabat atau siapapun yang bersua selama hidupnya.

Coba renungkan nama nama besar yang terpahat dalam sejarah kehidupan manusia, meskipun secara jasad sudah tiada namun tokoh tokoh itu sanggup meng"ada". seperti nabi nabi pilihan meski kita hidup di masa dan jaman yang jauh saat kehadirannya tetapi keteladanannya terasa hidup dan ada sampai detik ini, diakhir tulisan ini akan masih merenung akankah meng"ada" akan menjadi bukti kualitas kehadiran masing masing diri ? jadi "tiada" itu apakah hanya sebuah sudut pandang ? (wallahua'lam bissawab- Allah yang mengetahui sebenar benarnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun