Setelah pindah ke Jakarta, seorang teman di kerjaan mengenalkan saya pada sohibnya saat kuliah. Proses perkenalan berjalan lancar, seminggu setelahnya saya menemui orangtuanya.
Kemudian perempuan itu menjadi istri saya, alhamdulillah sebentar lagi menginjak dua puluh tahun kami bersama. Mohon doa Kompasianer, semoga kami langgeng hanya maut memisahkan.
Pun saya doakan, teman-teman yang sedang berusaha menjemput jodoh. Segera dipertemukan, lekas mengakhiri kesendirian.-- aamiin
----
Uniknya, saat digelar pernikahan. Teman baik kami datang, pasangan suami istri menikah tiga bulan sebelum kami ."Mas, kita dulu-duluan ya" bisik si suami sambil salaman
Saya jawab dengan tersenyum, sangat paham maksud yang disampaikan kawan baik. Setelah pernikahan, kami berjibaku dengan kesibukan keseharian.
Memasuki bulan ketiga pernikahan, istri menunjukkkan hasil test pack garis dua. Rasa syukur dan bahagia yang sangat, begitu menyelimuti hati kami. Tak sabar rasanya, segera dipanggil ayah. Panggilan yang sudah pantas, tersemat pada lelaki usia 30-an seperti saya -- kala itu.
Kami tahu, bahwa kawan karib yang menantang belum seberuntung kami. Maka sekalipun, kami tidak pernah membahas hal tersebut. Saya dan istri, tak terbersit niat menjatuhkan mentalnya.Â
Sebaliknya kami support, agar keduanya sabar, semangat dan terus berusaha. Dan ketika anak mbarep kami masuk SMA, kabar sangat mengejutkan kami terima. Teman akrab semasa bujangan, istrinya hamil di usia jelang kepala empat. Bahagia kami membuncah, seperti dulu saat hamil istri.Â
Hikmah yang kami petik, bahwa manusia adalah tempatnya belajar. Ya belajar sabar, belajar terus usaha, belajar tidak putus asa.