Kompasianer's, saya pernah berada di satu titik kehidupan. Yaitu merasakan, bahwa hidup seolah sedang tidak berpihak pada saya. Hari berjalan terasa datar dan statis, saya merasa tak ada pencapaian bisa diraih. Di benak bergumul gelisah, ada dan atau tiadanya saya tak berpengaruh apa-apa.
Sedih pastinya, hidup terasa tiada arti dan hampa. Disatu sisi saya tak punya pilihan, kecuali menjalani, kecuali menghadapi yang ada. Suka tidak suka, sepakat atau menolak, menyangkal atau menerima, hidup musti terus berjalan.
Bahwa masih ada jatah waktu di dunia, yang belumlah usai dijalani. Bahwa masih ada tugas kehidupan menanti, belumlah tuntas untuk ditunaikan. Tetapi bahwa ras jenuh, bosan itu, teruslah bergelayut.
Semnetara saya ada istri dan anak-anak, menjadi tanggung jawab yang musti dipenuhi. Ada tugas menafkahi, ada tugas mendidik dan mengantar hingga anak-anak dewasa. Keputusan yang saya ambil, pasti akan berdampak pada mereka.
"Lu, mah enak, masih bujang, sudah punya rumah, dsb...."
"Lu, enak. Gue nih, musti nanggung bebang keluarga, dsb..."
Kalimat seperti di atas, kerap terdengar saat ada yang curhat. Seolah adu nasib, yang ujungnya membuat rasa kesal mengemuka.
Padahal, masalah setiap orang tidak bisa diperbandingkan. Tantangan setiap orang, tidak bisa dipersandingkan. Saya sangat yakin, setiap orang punya pergulatannya masing-masing.
-----
Belakangan di youtube, saya menyimak beberapa kajian Angelina Sondakh. Nama yang mungkin, bagi sebagian Kompasianer's tidak asing. Jalan hijrah diambil, telah mengubah cara berpikir dan mengambil keputusan.