Bagi pasangan penganten baru, niscaya semua kan terasa indah. Hari-hari dipenuh sesaki kebahagiaan, nikmatnya mereguk bulan madu seutuhnya. Kemana pergi selalu berdua, nempel kayak perangko dan dimabuk cinta.
Suami rutin berkabar di mana berada, bersedia menanggapi keluhan istri dengan suka cita. Pun istri dengan sikap manja mesra-nya, ditanggapi sang suami dengan bumbu keisengannya.
Ah, indahnya penganten baru. Saya masih merasakan, bunga bermekaran di sanubari.
Seiring berjalannya waktu, maka liku-liku kehidupan mulai menyapa dan dirasa. Suami mengemban tugas pencarian nafkah, penuh tantangan menguras tenaga dan pikiran. Istri berjibaku dengan tugasnya di rumah, tak kalah membosankan.
Tagihan listrik dan air musti dibayarkan, tak boleh sampai lewat tanggal ditetapkan. Persediaan beras, minyak, gula, dan bahan makanan musti tetap dipenuhi. Karena ada perut yang musti diisi, agar hari ke hari bisa dilewati.
Tak ayal, pikiran dan konsentrasi bercabang-cabang. Waktu suami istri bermanja mesra, semakin sempit dan sedikit. Bergelut dengan rutinitas keseharian, berpeluh terik dan kebisingan jalanan. Tuntutan ini dan itu berdatang, menjadi kewajiban musti diselesaikan.
Suami istri tetaplah wajib menjalin komunikasi, saling support satu dengan yang lain. Apalagi kalau sudah ada buah hati, merekalah kan menjadi prioritas. Anak-anak musti diantar, menuju gerbang dewasa dan mandiri.
Menikah dengan segala masalahnya, membuka banyak kesempatan akan pemahaman baru. Dan nyatanya, bahwa menikah tidak semata untuk bahagia. Ada tujuan lebih dari menikah, lebih dari sekadar bahagia.
---