Kompasianer's, sering kita dapati kenyataan di lapangan. Masyarakat kita bertambah pengeluaran, justru di bulan Ramadan. Kemudian mendekati lebaran, perputaran uang lebih kencang lagi. Pasalnya ada THR (Tunjangan Hari Raya) yang sudah dibagi, kemudian memantik semangat berbelanja.
Fenomena ini ditangkap pelaku usaha, guna menaikan omset penjualan. Maka jamak kita lihat di mini market terdekat, bertumpuk biskuit kaleng aneka rasa, besebelahan tumpukan wafer, syrup botol, kue kering dan banyak makanan lainnya dijajakan.
Godaan berperilaku konsumtif, sangat-sangatlah besar. Tinggal kitanya, musti pintar menyikapi situasi. Bulan Ramadan, bulan melatih kesabaran, menahan hawa nafsu, menahan perilaku berlebihan.
Termasuk dalam berbelanja ini dan itu, sebaiknya kita menerapkan nilai-nilai mulia Ramadan. Â Tidak berlebih-lebihan dalam bersikap, berucap, makan dan minum. Dan kalau nilai-nilai itu sudah dijalankan, semoga harapan menjadi muslim yang kaffah tercapai.
----
Belakangan trend takjil war naik pamor, sampai menjadi bahan becandaan di medsos. Tak urung suasana puasa menjadi lebih semarak, time line media sosial dipenuhi meme kocak.
Soal penjual takjil ada di banyak tempat, tersebar di banyak lokasi. Ada penjual timur suri, blewah, kelapa muda, biji salak, bubur sumsum, kolak, jeruk peres murni, aneka gorengan, sate-satean, baso, pecel dan lain sebagainya.
Sebagian besar pedangang, mengaku laris manis jelang waktu berbuka tiba. Ada yang ludes tak lama setelah buka, diborong untuk buka puasa bersama. Dan hal serupa, terjadi di banyak tempat di sepanjang bulan suci.
Tak ayal pengeluaran membengkak, akibat belanja menuruti keinginan bukan kebutuhan. Â Ujungnya-ujungnya, Ramadan lebih boros dibanding bulan lainnya. Setelah bulan puasa selesai, jarum timbangan badan bergerak ke kanan. Tau-tau celana tidak muat, tanda kegemukan sedang terjadi.Â