Layaknya keluarga desa, yang hidup di medio tahun 80- 90-an. Hubungan orangtua dengan anak, tidaklah seekspresif dan atau secair sekarang.
Seingat saya, seumur-umur belum pernah mengucapkan "I Love You", "Aku sayang ayah/ibu", "Selamat Ulang Tahun", "Happy Aniversary", atau kalimat sejenisnya pada orangtua. Rasanya kagok di mulut, kaku di lidah, aneh, dan tidak bisa lepas mengucapkannya. Yang ada, diketawain --hehehe.
Eit's, meski demikian, soal rasa hormat, taat, patuh, anak pada orangtua tidak perlu diragukan. Kami para anak di masa itu, seperti ada kesepakatan tidak tertulis. Soal bersikap, berucap, pun membawa diri di hadapan orangtua (terutama ayah).
Saya (kemudian saya ketahui teman- teman bersikap sama) kepada ayah, tidak berani bertatap muka dan pandangan saat ngobrol. Lebih banyak menunduk, hanya sesekali atau sekelebatan saja melihat wajah ayah.
Sementara kepada ibu hubungan lebih cair, kami bisa cerita apapun dan terbuka segala masalah. Ibu adalah orang pertama, mendengarkan cerita saya. Mulai yang remeh temeh, sampai yang serius. Mulai cerita keseharian di sekolah, sampai rencana besar seperti mendaftar kuliah.
Ibu perpanjangan omongan kami ke ayah, soal keuangan ayah penanggung jawabnya. Beliau pencari nafkah, sandaran seluruh anggota keluarga. Meski jarang ngobrol, kami sangat hormat dan menyayangi ayah.
Ayah guru SD, dengan penghasilan tak seberapa. Bagi saya, beliau telah berhasil menunaikan tugasnya. Tugas ayah, menjadi semestinya ayah.
-----
Meski bukan keluarga priyayi, ibu mewajibkan anak-anaknya bahasa jawa halus --Â kromo inggil-- pada orangtua atau orang yang lebih tua. Aturan ini berlaku saklek, ibu tak memberi ruang tawar menawar. Pernah saya melanggar, selain dimarahi tidak boleh makan di siang itu.