Kompasianer's, saya yakin sepakat. Terutama yang sudah berkeluarga, telah atau sedang melampaui liku-liku kehidupan pernikahan. Bahwa kehidupan berumah tangga, sungguh luar biasa dan menakjubkan. Sangat-sangat challenging, bisa menjadi ajang tempaan baik lahir maupun batin.
Secara pribadi, saya kadang kadang ada perasaan surprise. Bisa bertahan sampai detik ini, meski tak luput dari aral rintangan yang terus dihadapi. Tiba-tiba mendapati anak mbarep beranjak dewasa, adiknya menjelang masa puber.
Kalau diingat-ingat masa kecil mereka, saya dan istri menggendong keduanya ke mana pergi. Anak lanang nyaris tidak bisa lepas dari ayahnya, adiknya lebih lengket ke ibunya. Pernah saya pulang sangat larut, si jagoan belum tidur menunggu ayahnya -- masyaAlloh.
 "Tau-tau, anak-anak udah gede," gumam kami orangtua.
Setelahnya baru menyadari, mendapati kenyataan ayah dan ibu mertua berpulang ke Rahmatullah. Ayahanda di kampung halaman meninggal lebih dulu, sempat sekali ketemu cucu dari saya.
-----
Soal jatuh bangun berrumah tangga, saya belajar banyak pada (alm) ayah dan ibu di Kampung Halaman. Saya saksi hidup, kerasnya ayah dan ibu berjuang.
Ayah yang guru SD rela jalan kaki, menempuh perjalanan ke sekolah di kampung tetangga. Ibu membuka warung di pasar, dengan lapak kecil (kala itu) masih semi permanen. Tenaga diperas sedemikian rupa, ternyata kebutuhan lebih besar dari pemasukan.
Saya si bungsu kerap mendapat tugas, mengambil uang (hutang) ke tetangga. Hari ini ke rumah bulek, pemilik toko di depan pasar kampung. Besoknya tetangga seberang rumah, di lain hari tetangga beda RT.
Semua dilakukan ayah dan ibu, demi anak-anaknya bisa tetap sekolah. Untuk kebutuhan sehari-hari, disiasati dengan kreasi mengolah makanan. Tempe dan tahu dimodifikasi sedemikian rupa, agar anak-anaknya bisa belajar dengan perut kenyang.