Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nanti Ya (Kalau Sudah Ada Uang), Ayah Belikan

2 Oktober 2023   12:00 Diperbarui: 2 Oktober 2023   20:35 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer's, dulu semasa kecil, mungkin pernah mendengar satu kalimat dari ayah. Kalimat khas yang diucapkan para ayah, ketika anaknya merengek dibelikan barang kesukaan. Dan namanya anak kecil, belum paham situasi yang orangtua hadapi.

Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, si anak masih memendam harap permintaannya akan diluluskan. Satu bulan, dua bulan, kalimat itu masih terngiang,  namun kadar pengharapan perlahan menurun. Satu tahun, dua tahun, hingga puluhan tahun berlalu, kalimat itu tertanam di benak. Namun pengharapan menjadi datar adanya, tak ada niat untuk mengungkit.

"Nanti ya, ayah belikan"

-----

Saya masih sangat ingat, suasana halaman rumah kakek di jelang sore di medio 80-an. Suasana ceria khas pedesaan kala itu, dipenuhi anak-anak sedang bermain. Halaman rumah yang cukup luas, tidak hanya cucu-cucunya sendiri tetapi anak-anak tetangga turut serta.

Kakek orang terpandang, petani dengan sawah yang luas. Juga jagal sapi dan kambing disegani, nenek yang menjual daging yang disembelih kakek. Sayangnya, tidak ada anak-anaknya yang meneruskan profesi itu. Tiga anak perempuan, yang mengikuti jejak nenek sebagai pedagang.

Layaknya rumah di desa, antar saudara rumahnya berdekatan. Rumah ibu dan adik nomor 4, di sekitar rumah kakek dan ragilnya serumah dengan kakek. Anak yang lain ikut suami (beda kampung), satu anak lelaki di kota besar.

Hubungan kekerabatan kami sangatlah erat, terutama dengan keluarga besar dari garis ibu. Sampai sekarang,  kedekatan hubungan kami sangat terjaga. Bahkan sampai masing-masing beranak pinak, saya sudah dipanggil mbah (anak dari keponakan).

Ketika itu, saya termasuk sangat telat bisa mengayuh sepeda angin. Seingat saya setelah kelas 4 SD, itupun di pertengahan menuju kenaikan kelas lima. Sementara adik-adik sepupu, atau teman sepermainan sudah bisa mengayuh sepeda.

Maka setiap jelang sore, saya memilih duduk di teras rumah kakek. Tidak berani meminjam sepeda, ketika yang lain bergantian mengayuh roda dua itu. Kebiasaan saya ini, rupanya diperhatikan paman (ragilnya kakek).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun