"Bocah umur semono, wayahe kemragat" ujar ibu
Anak usia segitu, waktunya banyak biayaÂ
Saya masih mengingat dengan jelas, kalimat yang disampaikan ibu. Menanggapi curhatan salah satu anaknya, yang sudah bekeluarga. Saya ragilnya (kala itu belum menikah), hanya ikut mendengar tapi belum merasakan. Kalimat ibu, lebih kurang seperti di awal artikel.
Anak-anak dari kakak tertua, baru saja masuk usia SMA -- kuliah. Maka untuk hal itu, musti siap biaya sekolah yang tidak sedikit. Apalagi untuk anak yang kuliah, butuh mencari kost, biaya hidup bulanan dan gadget.
"Mumet aku," ujar kakak sembari berlalu
Ya, kakak musti memutar otak sangat keras. Demi memenuhi kebutuhan tersebut, demi masa depan anak-anaknya. Dan entahlah bagaimana caranya, saya tidak mengikuti usaha kakak waktu itu. Karena juga sibuk dengan pekerjaan, hanya sesekali komunikasi via telepon.
Yang jelas sekarang, dua keponakan saya sudah lulus kuliah. Masing-masing sudah berkeluarga, mempersembahkan cucu-cucu kesayangan. Anak mereka tinggal di tanah rantau, membangun rumah tangga.
-------
Saya sangat paham, kalimat ibu bukan sekadar kalimat kosong. Ibu pernah berada di fase tersebut, menyekolahkan enam anak secara bersamaan. Saya menyaksikan sendiri, situasidi  masa lampau itu. Saat kakak tertua masuk kuliah, bersamaan anak ketiga masuk SMA, dan anak ke lima masuk SMP. Sementara itu tiga anak lainnya (termasuk saya), masing-masing sedang naik kelas.
Bisa dibayangkan, dana dibutuhkan pasti tidak sedikit. Lebih-lebih, biaya anak naik tingkat ke jenjang perguruan tinggi. Mulai uang pendaftaran, jaket almamater, uang buku, uang SPP, dan lain sebagainya.
Ayah yang (Guru SD) bergaji tak seberapa, jauh dari cukup untuk menutup semua kebutuhan. Ibu langsung turun tangan, membantu berjualan sembako di pasar kampung. Itupun tidak serta merta cukup, musti dibarengi pontang panting mencari utangan. Ibu orang yang memegang janji, utang-utangnya tak pernah tidak dibayarkan.