Hallo Kompasianer's, tanpa terasa hari ini sudah dimulai arus balik. Pemerintah juga nampak sigap, mengantisipasi kenaikan di puncak arus mudik. Yaitu mengajak masyarakat, menggeser waktu mudik (tanggal 26 april ke atas). Agar ajakan tersebut menarik minat, maka operator jalan tol memberi discount untuk penggunanya.
Sementara saya dan beberapa saudara, sudah berkemas bawaan dari sehari lalu. Karena memakai moda transportasi publik, yang tidak bisa menggeser jadwal sesuka hati. Padahal belum puas di kampung, padahal belum tuntas berkangen- kangenan. Padahal ada acara reunian teman-teman lawas, yang diadakan bebarengan dengan jadwal balik ke tanah perantauan.
Semua terpaksa kami abaikan, karena hari ini saatnya kami harus pulang. Bahwa jadwal kereta yang kami tumpangi, adalah siang ini.
Mudik tahun ini, sungguh jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mengingat tiga tahun masa pandemi, saya dan kakak-kakak terpaksa absen. Memang sih, saya sempat pulang di luar lebaran, tapi tidak komplit dengan keluarga.
Dan mudik tahun ini, mengerucutkan pada satu nama. Nama yang tak pernah terganti, yang doa-doanya selalu saya nanti.
Adalah ibu.
Dibalik semua kerepotan dan jibaku perjuangan mudik, adalah semua tentang ibu. Ibu adalah alasan terbesar dan terkuat, untuk kami melangkah ke tanah kelahiran.
-------
Ibu, perempuan 77 tahun. Kulit keriputnya, rambut jarang telah dipenuhi uban. Pandangan yang mulai kurang awas, pun pendengaran yang agak berkurang. Langkahnya tertatih, tak lagi bisa bergegas. Bahkan untuk memakai sandal saja, butuh waktu tidak sebentar.
Tetapi di pundaknya, telah memanggul selaksa beban. Beliau anak mbarep, dari tujuh bersaudara. Kakek adalah tukang jagal kambing, dan nenek penjual daging kambing. Dengan keluarga dari garis ibu, kami sangat dekat. Layaknya di kampung, rumah antar saudara saling berdekatan. Kami bisa sewaktu-waktu bisa berkunjung, saling membantu sekira dibutuhkan.
Empat adik ibu sudah berpulang, dua adik sudah lama dan dua lainnya baru di awal tahun ini. Masih di waktu yang berdekatan, dua sepupu (anak bulek) juga meninggal dunia. Bisa dibilang, lebaran ini adalah lebaran diselimuti duka. Jarak meninggal antar orang nyaris sama, sekitar seratus hari-an.
Ibu selalu saja mewek, kalau terlintas tentang dua adik dan dua keponakan. Dan saat saat sungkem, adalah moment yang paling mengharu biru. Ketika adik-adik ibu datang dan sungkem, tak ayal isak tangis tak bisa tertahankan. Pada bulek (yang ditinggal paklek), beliau tampak sebegitu rapuhnya. Sungguh, saya tidak tega melihatnya.Â