Sejatinya, kehidupan pernikahan akan memiliki perspektif yang indah. Asalkan pasangan tersebut, mau berproses dan belajar bersama- sama. Entah naik turunnya, entah suka dukanya, entah lengang sempitnya di kehidupan pernikahan. Kalau pasangan menyediakan diri memaknai, niscaya semua muaranya adalah demi kebaikan manusia.
Syariat pernikahan diadakan semesta, tak ubahnya seperti sebuah medan pertempuran. Ya, bertempur melawan ego yang kerap menguasai diri. Dan dengan terus mengevaulasi dan membenahi diri, maka akan membentuk menjadi pribadi yang arif.
Tapi kan sulit, tapi kan godaannya berat?
Memang tak ada yang mudah di dunia ini, setiap keadaan tak segampang membalik telepak tangan. Tetapi bukankah manusia dibekali akal pekerti, yang membuat manusia dimuliakan. Dan dengan akal pekerti itulah, modal manusia mengurai segala permasalahannya.
Menikah ibarat sebuah pintu gerbang, memasuki babak setahap lebih tinggi di perjalanan kehidupan. Pernikahan adalah menyatukan dua orang  (laki & perempuan) sebagai suami istri, tentu dengan peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing.
Yang semasa bujang biasanya apa-apa dilakukan sendiri, kini ada pasangan berada di sampingnya. Yang biasanya memikirkan diri sendiri, kini ada perasaan pasangan yang musti dipikirkan. Yang biasanya selalu mengutamakan diri, kini ada pasangan yang musti diutamakan juga.
Dan di bagian penyesuaian inilah, momentum melunturkan ego itu berada. Yaitu pada saat, diri sendiri mengalah demi kebaikan bersama. Tetapi sungguh, pergulatan yang demikian penuh upaya. Justru membuat suami istri, bisa melihat kebahagiaan dari sudut pandang yang berbeda.
-------
Meskipun sudah menikah, sepasang suami istri tetaplah dua orang berbeda. Memiliki latar belakang, karakter, kebiasaan, pergaulan, lingkungan yang tidak sama. Dan karena perbedaan itulah, suami dan atau istri punya kewajiban untuk saling menyesuaikan.
Laki- laki dan perempuan, yang semasa sendiri bisa bangun dan berangkat tidur semaunya. Yang kalau berangkat kerja atau bepergian tinggal nyangklong tas, langsung cuus tak ada yang memberati. Â Yang membeli dan mengonsumsi makanan, hanya untuk diri dan sesuai selera pribadi.
Maka setelah menikah, tidak lagi sebebas itu.
Dan penyesuaian di awal pernikahan, adalah sebuah keniscayaan. Masa-masa, yang memungkinkan terjadi culture shock. Â Mendapati kejutan- kejuatan yang menuntutnya 'give and take'. Bahkan suami dan atau istri, musti siap give tanpa syarat.
Sungguh, di tahapan ini adalah kelas belajar berumah tangga dibukakan. Bagaimana mengelola peselisihan, untuk hal kecil soal beda adat Bagaimana mencoba mengalah, untuk hal sekiranya tidak terlalu urgen. Dari pembelajaran dimulai hal-hal kecil di keseharian, perlahan-lahan membentuk sikap menerima.
Melunturkan Ego dengan Menikah
Saya sangat sepakat, bahwa menikah adalah ajang untuk berlatih melunturkan ego. Karena kita akan menghadapi fakta, bahwa pasangan kita adalah bukan kita. Karenanya akan banyak perbedaan, dan hal-hal tidak ideal lainnya. Tetapi dari yang tidak mengenakan, justri menjadi peluang memahami satu dengan lainnya.
Dan saya sangat meyakini, bahwa berbeda bisa alasan saling menguatkan. Ibarat mur dan baut yang keduanya memiliki tampilan tak sama, tetapi kesatuan keduanya akan menampilkan kemanfaatan dan kekuatan.
Menikah akan mementahkan ide, bahwa kita akan cocok dengan orang yang banyak persamaan. Akan menggantikan padangan baru, bahwa ada sabda tentang takdir. Salah satunya takdir pasangan, adalah jodoh terbaik yang diberikan kehidupan.
Seberapapun perbedaan setiap pasangan, misi yang pasti adalah menumbuhkan sikap saling melengkapi. Kemudian puncak dari semua sikap menyesuaikan dan melengkapi, menjadikan diri sebagai pribadi yang menerima atau kata lain dari legowo.
Pada tataran 'menerima' inilah, berarti seseorang telah sampai pada sikap dewasa. Sebuah fase yang ego sebegitu mudahnya luntur, yang ada bukan lagi tentang diri tetapi kita (suami istri).
---
Ya, menikah adalah ajang melunturkan ego.
Saya sendiri mengalamai dan menjumpai masa, bahagia membuncah ketika pulang membawa makanan kesukaan istri. Meskipun di saat bersamaan, saya membelinya dengan satu satunya lembar uang dimiliki. Meskipun saya dengan kesadaran penuh, musti mengalah dan mengurungkan niat makan makanan kesukaan saya.
Saya mengalami dan merasakan kebahagiaan, setelah sekian lama menabung, kemudian hasilnya bisa membelikan barang dibutuhkan istri. Meskipun untuk tujuan ini, saya tertatih menahan kesenangan dan mengesampingkan kebutuhan untuk sendiri.
Indahnya pernikahan, indahnya masa penyesuaian, indahnya mengalahkan ego sendiri. Adalah indahnya masa-masa menjalani mahligai pernikahan. Dan keindahan itu, hanya bisa diwujudkan oleh pasangan itu sendiri.
Seganteng atau secantik paras, seberlimpah apapun kekayaan, bukanlah jaminan bahagia dan dewasa. Kalau masih ada sikap mengunggulkan diri sendiri, kalau masih ada sikap pengabaikan perasaan pasangan.
Karena esensi pernikahan, adalah ajang melunturkan ego. (semoga bermanfaat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H