Sungguh, tak mengenakkan.
Di kampung halaman, ibu melakukan aksi serupa. Â Mula-mula bertanya dengan kalimat lembut, lama-lama to the point membuat kuping panas. Sampai saya ngambek, dan ibu mendadak bersikap melunak.
Tetapi entahlah, saya merasakan ada yang berbeda. Sikap ditunjukkan ibu, dengan sikap yang ditunjukkan orang selain ibu. Meski materi pertanyaannya sama, yaitu mempersoalkan kesendirian saya kala itu.
Menurut saya, ibu tidak sekedar bertanya tetapi menyampaikan isi hati. Pertanyaan ibu, saya tahu tidak mengandung niat menjatuhkan. Tetapi sebagai bukti, rasa sayang orangtua kepada anaknya. Ya, Ibu bertanya di waktu dan tempat yang tepat. Saat kami sedang ngobrol berdua, saat tidak ada orang lain ikut nimbrung.
Sementara orang selain ibu, bertanya di tempat dan waktu yang sangat tidak pas. Seperti saat kumpul keluarga besar sedang berlangsung, ketika banyak telinga sedang mendengar dan mata menyaksikan. Â
Seandainya, saat itu saya membaca reply dari cuitan selebtweet. Niscaya rasa sakit hati ke si penanya, dengan lekas bisa ditepiskan.
------
Kompasianer, saya yakin familiar dengan nama Prof Johanes Surya. Saya pernah membaca tulisan beliau, yang mengulas tentang "Semesta Mendukung atau mestakung". Â Di buku ini diulas, bahwa manusia dalam posisi tersudut secara naluri menuntut dirinya lebih kreatif.
Manusia di posisi tersudut, membuat seluruh instingnya bekerja, terstimulus bertindak melebihi batas kemampuan dimiliki. Ketika manusia sudah mengerahkan segenap daya, maka akan ada kekuatan dari luar membantu. Itulah kekuatan semesta mendukung.
Contohnya orang takut anjing, suatu saat dikejar dan digonggong hewan tersebut. Maka orang ini akan berlari sekuat tenaga, tak disangka bisa melompat pagar tinggi. Yang dalam kondisi normal, belum tentu pagar tersebut bisa dilompati.