Bulan Oktober lalu, saya berkesempatan mudik. Setelah sembilan bulan tidak bertemu ibu, rasa kangen itu mulai bertunas. Meski kerap video call, sungguh tidak menandingi leganya bertemu fisik secara langsung.
Di keluarga besar di kampung, ibu menjadi orang yang disepuhkan (beliau anak sulung). Perempuan 75 tahun ini, selalu dijadikan jujukan adik-adik dan keponakannya. Maka selama di rumah, saya bertemu banyak saudara yang berkunjung.
"Lemu men, mas," celetuk adik sepupu.
Mendengar kalimat ini saya tak lekas merespon, menganggapnya sekadar candaan sesama saudara. Dan seperti biasa kami berfoto, mengingat belum tahu kapan bisa bersua lagi. Setelah melihat hasil jepretan keponakan, baru saya terhenyak bahwa badan ini memang melar.
"Nggak usah takut lemu, sing penting sehat," ujar kakak mbarep.
Foto pertemuan singkat itu dikirim di group WA keluarga, soal badan gemuk menjadi topik bahasan. Kalimat kakak tertua sekilas terkesan membela dan menenteramkan, tetapi kalau disadari sebenarnya menjerumuskan.Â
Besar kemungkinan terselip maksud baik dari kalimat tersebut, agar adiknya tidak terlalu kepikiran. Apalagi kami bersaudara sangat jarang bertemu, maka sikap aman dan menyenangkan dipilih.
Beruntung saya tidak cepat tunduk, mengingat bukan sekali mengalami naik turun berat badan saat diet. Menggemuknya badan belakangan, saya jadikan warning untuk kembali ke "jalan benar".
-----