Saya pernah mendapati beberapa kenalan, yang terlihat kurang nyaman dengan kata menikah. Air mukanya mendadak berubah, menunjukkan kurang tertarik dengan tema pernikahan.
Terutama  mereka yang tiba waktu menunaikan syariat (menikah) tersebut, sementara dari sisi usia sudah dipandang pantas.
Kata menikah berubah menjadi begitu sensitif, menyusul seribu alasan dihamburkan. Entah sebagai bentuk membela diri, atau pembenaran atas sikapnya.
Padahal sih tak usah jauh-jauh, Â saya sendiri pernah berada di posisi mereka.
Dulu saya sangat sebal, ketika mudik disodori pertanyaan "mana calonnya, kok nggak diajak". Saya bisa merasakan niat, dibalik pertanyaan yang disampaikan.
Tujuan satu persatu orang, bisa saya baca dan terwakilkan dari nada suara, guratan wajah ditampakan atau bahasa tubuh.
Saya bisa mendeteksi, mana pertanyaan disertai nada mengejek, atau diselipi rasa iri dengki dengan pencapaian saya (yang tidak dia dapatkan).
Yang tampak frontal dan sangat kentara, biasanya penanya yang memiliki niat menjatuhkan mental yang ditanya.
Betapa maksud hati sungguh tidak bisa ditutup-tutupi, meski dipoles dengan kata-kata manis penuh sayap.
Tak pandang saudara kandung, teman sebaya, teman sekantor, atau teman di pergaulan, mereka bisa saja (diam-diam) berubah menjadi musih.