Bulan Juni identik dengan tahun ajaran baru, sebaiknya Kompasianer menyimak tips terkait memilih sekolah. Tips bisa didapatkan dari saudara, teman, kerabat, atau siapapun yang pernah mengalami.
Kebetulan saya mengirim anak belajar ke pesantren, sekira ada yang punya rencana semisal. Monggo semoga artikel ini bermanfaat.
---
Sependek pengalaman, mengirim anak belajar ke pondok pesantren tidak bisa tiba-tiba. Kita orangtua musti menyiapkan jauh hari, kemudian dua pihak (anak dan ortu) menyepakati.
Kata sepakat penting, guna menghindari jangan sampai mondok putus ditengah jalan. Mengingat belajar di pondok, anak musti tinggal di asrama bertahun tahun.
Ibarat kata, effort belajar di pondok musti disiapkan lebih. Baik secara mental atau finansial, keduanya (setertatih apapun) musti sejalan.
Saya masih ingat wejangan kepala pondok, di hari pertama kami menyerahkan anak. Menurut beliau nyantri itu kuat-kuatan, artinya orangtua dan anak (keduanya) musti saling menguatkan.
Bisa jadi orangtuanya tidak kuat, atau sebaliknya si anak yang tidak kuat. Entah atas alasan apapun, yang membuat belajar di pondok terpaksa berhenti.
Apalagi kalau masuk pondok dari jenjang SMP, notabene anak berada di masa peralihan dari kanak-kanak menuju puber.
Saya dan istri mengalami hal demikian, mencari segala cara agar anak betah dan bertahan.
Hal ini tidak kami sendiri menghadapi, seiring waktu berjalan ada anak bertahan satu tahun, ada juga yang berhenti di tahun kedua.