Dalam seluk beluk dunia asmara, saya termasuk orang yang kurang lihai dan piawai. Saya relatif minim pengalaman menyoal pacaran, tetapi di kemudian hari saya belajar berdamai dengan diri sendiri.
Dulu saya pengin kayak orang-orang, yang kalau pacaran pergi kemana-mana (naik motor) berduaan layaknya sejoli sedang kasmaran. Sayangnya pikiran lugu saya kala itu, tidak nutut alias tidak sampai ke tahapan tersebut -- saking culunnya, hehehe.
Kalaupun pernah sesekali naksir teman atau adik kelas (pertama kali kelas 4 SD, kayaknya), kebanyakan perasaan itu dipendam sendiri. Sampai sekarang saya bisa merasakan ulang, bagaimana deg-degan dan atau getaran saat bertemu dan melihat orang ditaksir.
Pernah sekali nekad (saat SMA) hendak menunjukkan rasa suka, tetapi urung mengingat orang ditaksir menunjukkan gelagat menghindar.
Berbeda dengan beberapa teman --semasa berseragam abu- abu putih--, kelihatan gigih memperjuangkan cintanya. Dibela-belain ini dan itu, hingga akhirnya cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Tetapi saya sangat minder, bernyali kecil saat mendapati reaksi tak mengenakkan di awal. Sehingga saya terbilang lambat, berani menunjukkan dan mengutarakan rasa suka ke seseorang.
Seingat saya setelah kuliah semester tiga atau empat, itupun dengan kadar kegigihan yang (menurut saya) kurang maksimal.
Satu lagi kesalahan saya, yaitu tidak terlalu tertarik kepada cewek yang lebih dulu naksir. Saat itu saya merasa , seperti tidak punya effort di posisi demikian--- saya benar-benar salah bersikap.
Beberapa perempuan terpaksa tidak saya tanggapi (duh, maaf ya) , ketika menunjukkan kesukaan yang biasanya disampaikan melalui perantara teman.
Hal tersebut berkelanjutan sampai di tempat kerja, saya relatif cuek kepada beberapa perempuan yang terang-terangan menaruh perhatian dan rasa suka.
Kemudian saya baru tersadarkan, setelah usia merambat mendekati tigapuluh tahun. Ibu semakin sering cerewet, menanyakan kapan saya pulang membawa calon.