Dari buku-buku sejarah yang saya baca menginformasikan, bahwa relief candi Borobudur menggambarkan siklus kehidupan manusia, jenis tingkah laku dan tipe manusia, flora fauna, kehidupan sosial politik, dan kesenian.
Sehingga bisa dijadikan sumber pengetahuan, baik tentang lingkungan hidup maupun aspek kultural yang kaya raya di masa silam. Candi Borobudur memiliki sifat kosmopolitan, tampak dari bangunan arkeologis-nya.
Sound of Borobudur : Menjelajah dan Merasai  Suasana Magis Musik Masa Silam Secara Kekinian
Saya akui, tiga musisi mengintepretasi musik masa lalu dengan totalitas tinggi. Misalnya Trie Utami rela bekerja keras, membuat ulang 17 jenis dawai atau alat musik petik, agar sesuai dengan yang tampak di pahatan relief candi.
Proses rekonstruksi alat tidak sekali langsung jadi, dawai yang dibuat tahun 2016 terpaksa dijadikan dummy. Kemudian diperiksa dan diproduksi ulang dari segi organologinya, baru di tahun 2018 alat musik dawai dibuat oleh seorang profesional.
Maka jangan kaget, kalau dawai di Sound of Borobudur memenuhi standarisasi Concert Grade.
Selain itu ada juga alat tabuh gerabah, yang dicari ketebalan secara pas agar sesuai dengan kepantasan bunyi. Dan tonalnya juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Beberapa jenis perkusi serta alat musik lainnya, semua diproses dengan sebegitu detil dan teliti demi mendapatan kesempurnaan bebunyian.
--
Kemudia lagu Lan E Tuyang juga tak kalah unik, mengusung musik yang kental dengan sentuhan irama dayak Kalimantan. Sekaligus menguatkan bukti, adanya panil alat musik dari seluruh penjuru negri bahkan lintas negara. Hal ini cukup sebagai legitimasi, bahwa Borobudur Pusat Musik Dunia.
Saya yang awam di bidang musik, biasanya kurang bisa menikmati musik berat. Tetapi melalui Sound of Borobudur, bisa menikmati bahkan meresapi bebunyian. Terbukti bulu kuduk merinding, ketika sampai beberapa nada yang menyentuh sanubari.