"Masak, sama saudara sendiri perhitungan begitu. Tega amat"
"Sudah bilang saja mau nempati dulu, lagian sayang kalau rumah kakak sendiri dikosongin"Â
"Sama saudara sepupu, pakai itung-itungan segala"
Saya pernah dicurhati teman, yang "diusir" secara halus oleh saudaranya. Rumah ukuran sedang di pinggiran Jakarta, nyaris ambruk karena tidak ada yang menempati dan merawatnya. Empunya bekerja di luar kota, anak istrinya diboyong pindah ke kota tempatnya bekerja.Â
Setelah kenalan ini menikah, diijinkan untuk menempati rumah saudaranya. Namanya rumah lama dan kosong, tentunya tidak layak ditempati dan perlu renovasi total. Saya sudah mengalami sendiri, butuh biaya tidak sedikit untuk membangun rumah.
Singkat cerita secara lisan saudara menyampaikan, Teman ini boleh menempati dalam jangka waktu tertentu. Saya tidak bertanya lebih lanjut, apakah biaya renovasi dikonversi ke biaya sewa selama teman ini menempatinya.Â
Sekian waktu berselang terjadi perubahan, tuan rumah bermaksud memakai rumah lama yang ditinggalkan. Konon alasannya anaknya bertambah besar, berniat menempati rumah si ayah. Sementara teman yang curhat ini, sama sekali belum siap karena tak menyangka "diusir" secepat perkiraan.
"Sebelum membangun rumah dan menempati, ada bukti hitam di atas putihnya nggak" sela saya.
"Enggak, pikir saya sama saudara sendiri ini, masak pakai perjanjian segala"Â jawabnya dengan wajah bingung dan menyesal.
------
Dulu ada teman (di kantor lama) bercerita diomeli kakak iparnya, sebabnya suaminya (berarti kakak kandung teman ini ) hendak meminjam uang sekian juta rupiah. Sebelum mengiyakan, teman ini bertanya perihal waktu pengembalian. Mengingat uang akan dipinjamkan, mengambil dari post uang sekolah anak. saya pikir, ini pertanyaan yang sangat wajar.