Ibu saya adalah orang jadul, cara berpikirnya (sebagian besar) masih seperti di zamannya. Kadang kalau ngobrol, saya musti menjelaskan pelan-pelan.
Misalnya ketika beliau mendengar, belakangan sang menantu (istri saya) berjualan aneka makanan siap santap.
"Jadi setiap pagi masak-masak gitu?" tanyanya polos.
Perempuan yang sudah punya cicit ini, dijamin tidak paham dengan medsos. Maka saya mencari pengganti kata, untuk sebutan FB, IG dan Twitter dengan kata internet.
"Nggak perlu masak buk, jualannya di internet jadi masak setelah ada pesanan," jawab saya dengan kalimat sesederhana mungkin.
"Kok bisa tahu dapat pesanan dari internet, carane piye?"
Nah loh, jawaban yang bertanya dikemukakan. Artinya saya musti bersiap, menjelaskan panjang lebar.
Kadang sekali menjawab belum tentu cukup, ada beberapa bagian yang musti diulang.
Beda orang jaman dulu beda orang jaman sekarang, setiap masa tantangannya tentu berbeda. Saya merasakan hal demikian, setelah (mungkin) separuh jatah usia sudah saya lampaui.
Tetapi terlepas dari masalah gaptek, orang jadul pada umumnya adalah tipe orang yang setia. Setia pada apapun itu.
Ibu saya berjualan sembako di pasar kampung, dari anak pertamanya masih merangkak (awal tahun 60-an).