Sewaktu belum merrid (alias jomblo), saya pernah dibuat sakit hati dengan salah satu saudara jauh. Saudara satu ini, kerap tidak padang tempat dan situasi kalau nyeplos atau nyeletuk sesuatu.
Kesendirian saya di usia mendekati tigapuluh, rupanya menjadi bahan olokannya. Saudara yang umurnya jauh di atas saya ini, kerap mengungkit status saya yang dianggap telat nikah.
Pernah saya berpikir dan mencerna dengan seksama, apa salah saya sehingga orang ini terusik dan ingin mengusik saya.
Saya mengira, kala itu secara karir saya relatif di atas beliau. Kebetulan bapak ini tidak bekerja, nyaris tidak ada penghasilan tetap.
Atas dasar itu, bisa jadi beliau merasa, saya dipandang tidak menyenangkan. Padahal seingat saya, saya tidak pernah menyinggung keadaannya.
Saya tidak ada terbersit niat atau upaya, ingin menjatuhkan martabatnya di hadapan istri atau anak-anak. Tapi dalamnya hati orang siapa yang tahu, dan saya tidak menjamin semua orang senang dengan saya.
"Lha kamu, seumur gini betah jadi bujangan. Padahal adik kelas sudah pada nikah".
"Kamu itu, mbok ya mikir kapan nikah".
"Percuma pinter nyari duit, kalau nggak pinter nyari istri"
Kalimat- kalimat tak mengenakkan kerap dilontarkan, mungkin Kompasianer (yang bujang) pernah mengalami atau merasakan sendiri.
Untuk celetukan celetukan tak menyenangkan itu, punya dampak cukup fatal. Rasa hormat saya kepadanya luntur. Â Sebagai saudara yang lebih muda, saya tidak punya rasa segan atau tidak enakan.