Sejauh ingatan saya, baru tahun ini ibu meminta kami tidak mudik. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, beliau paling giat minta anak-anaknya kumpul saat lebaran.
Ibu sangat paham jadwal pembelian tiket kereta, sehingga kami biasanya ditanya tiga bulan mundur dari tanggal datangnya hari raya.
Mungkin permintaan untuk tidak mudik, sekilas terasa aneh dan tidak biasa. Tapi situasi dan kondisi, berlangsung seperti demikian adanya. Budaya turun temurun itu (mudik), sementara terpaksa tidak bisa ditunaikan.
"Wis, nggak usah mudik ora popo" suara ibu dari seberang
Bicara sedih semua pasti merasakan, bicara kangen semua juga memendam kangen. Apalagi bagi yang orangtua sudah sepuh, bisa sungkem adalah kesempatan emas.
Tetapi lebih dari itu semua, adalah demi kebaikan untuk semua pihak. Ibu saya, mengerti resiko besar apabila anaknya tetap ngotot pulang.
Tidak ingin kan, kita menjadi perantara virus bagi orangtua atau saudara di kampung. Kita yang muda (misalnya) dengan daya imun kuat, berinteraksi dengan orang sudah sepuh.
Mereka yang notabene kaum rentan, memiliki imun yang tidak seperkasa kaum muda. Sangat mungkin terjadi persilangan virus, yang itu tidak disadari.
Kemudian tadarus bareng anak lanang, selama Ramadan kami bersepakat menjalankan one day one juz (alhamdulillah sekrang sudah juz 28, sedang ibunya tidak bisa ikut karena siklus bulanan perempuan).
Ramadan ini, sungguh terasa istimewa. Selain kondisinya yang tidak biasa, kita juga diajak untuk merenung dan menyesuaikan diri. Terhadap hal-hal, yang ada di luar kuasa dan keinginan.