Kompasianer, terutama yang sudah masuk umur 40 tahun. Yuk, makin peduli dengan tubuh sendiri. tubuh ibarat kendaraan yang saban hari dipakai, kalau bukan diri sendiri peduli lalu siapa lagi.
Saya sendiri lebih menyadari hal ini, setelah beberapa waktu lalu periksa untuk keperluan donor darah.
"Bapak, ngerasa pegal, atau pusing"
"Enggak, mbak"
"Kawatir sinyal tubuh bapak menurun,"
Pada kalimat terakhir ini, sungguh saya dibuat tersentak dan sadar. Jujur sejak awal mula bekerja, saya sudah tidak teratur dalam hal jam tidur.
Apalagi di awal pindah ke ibukota dan masih bujangan, saya kerja bagai tak kenal waktu. Berangkat kerja jam setengah tujuh pagi, pulang bisa jam delapan atau setengah sembilan malam.
Kerjaan masih dibawa ke kost, kemudian dilanjutkan sampai jam satu dini hari. Tidur jelang jam dua, bangun sebelum subuh, mandi dan siap siap berangkat ngantor.
Sabtu dari pada di kost, saya ke kantor dengan sesama perantau yang masih jomblo. Benar-benar bisa libur, kalau datang hari minggu atau hari libur nasional.
Begitu terus siklus hidup semasa bujang, keleluasaan waktu dimiliki benar benar saya curahkan untuk pekerjaan. Kemudian mulai sedikit berubah setelah menikah, tetapi tanggung jawab untuk anak dan istri bertambah.
Dan masalah kebiasaan kurang tidur, tidak segera saya ubah, sampai pada saat hendak donor darah dan mendapati penjelasan dari petugas.
Sebenarnya, saya sangat menikmati proses dalam bekerja itu. Tetapi seharusnya, saya bersikap adil kepada tubuh sendiri.
Di awal umur 40-an, pernah terkena sakit yang sangat. Â Setelah periksa ke dokter, selain karena obesitas, ternyata gaya hidup menjadi salah satu penyebabnya.
Setelah periksa, sakit saya alami disebabkan pola makan yang salah, maka saya berganti makanan sehat (buah dan sayur) serta berolah raga.Â
Tapi ada satu hal terlewatkan, yaitu "TIDUR CUKUP", dan hal ini sangatlah penting
Siang itu, tetangga sebelah rumah mengabarkan. Bahwa istrinya Pak (sebut saja) Aman, minta tolong untuk menjualkan mobil dan rumah yang beda satu gang dengan rumah kami. Â Usut punya usut, keluarga kecil ini hendak pindah ke Malang.
Saya mengenal Pak Aman dan keluarga, anaknya seumuran si sulung dan semasa TK satu kelas. Ketika hendak masuk sekolah dasar, kami bersama-sama mencari sekolah.
"Pak Aman musti cuci darah,"
"O' YA....!" mata saya mendeilik kaget.
"Mungkin, kalau di kampung kan banyak saudara."
Pak Aman di usia 40-an, sudah musti cuci darah, itu artinya ada masalah dengan ginjalnya. Saya tahu biayanya tidak murah, almarhum paman pernah mengalami hal serupa.
Beberapa teman sepantaran ada yang sakit ini dan itu, kabar ini saya dapati dari WA Group teman SMA yang kerap berbagi cerita.
Teman atau kenalan lama, semasa muda dengan garis ketampanan dan kecantikan. Kini melalui selembar foto dikirim, saya lihat terlihat kurus dengan tulang terlihat menonjol.
Ketampanannya yang dulu membuat saya iri, sontak menguap tak berbekas, menurut beberapa teman karena gaya hidup yang tidak baik.
Saya sepakat, bahwa maut, jodoh dan rejeki adalah rahasia Tuhan. Bahwa setiap manusia, memiliki suratan yang tertulis di lauhul mahfuz.
Tetapi kita wajib berikhtiar, demikian sunatullah mengajarkan. Kita tetap mengerahkan usaha dengan sungguh, menjaga diri dengan sebaik-baiknya.
Mengambil Hikmah di balik Wabah Covid-19 bagi Lelaki Umur 40-an
Terhitung masuk minggu kedua, saya tidak leluasa keluar rumah. Dalam sehari, tidak sampai lama keluar karena keperluan penting. Saya yakin, Kompasianer juga melakukan hal yang sama.
Himbauan pemerintah untuk "di rumah saja", tidak lain untuk kebaikan kita sendiri, sementara tenaga medis sedang bekerja keras di garda terdepan.
Sampai artikel ini saya buat, kasus pasien corona mencapai 579 pasien, dengan 30 sembuh dan 49 meninggal. Jumlah ini cukup tinggi, sehingga perlu penanganan secara serius.
Agar korban tidak bertambah, kita bisa membantu tenaga medis dengan tidak keluar rumah (kecuali untuk keperluan sangat penting).
Saya mematuhi pesan petugas donor, untuk memperhatian sinyal tubuh. Saya sangat hapal kebiasaan tubuh ini, ketika punggung sudah pegal, petanda waktunya istirahat.
Usia empat puluh tahun, ibarat perjalanan sudah menempuh separuhnya. Pasti banyak sudah, asam garam kehidupan direguk.
Usia empat puluh, ibarat mesin kendaraan, sudah dipakai jauh berjalan. Melewati jalan tanjakan, turunan, jalan terjal, berkelok, atau bahkan terpersok dalam kubangan.
Di balik wabah Covid dan gerakan "di rumah saja", Â sesungguhnya bisa menjadi kesempatan untuk memperhatikan tubuh. Istirahat cukup bisa diterapkan, sebagai cara menebus waktu panjang telah terabaikan (dalam hal istirahat).
Semoga semua ketidakenakan ini segera berlalu, dan sebagai orang beriman, mari kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H