Setelah mbarep ngasrama, saya tidak bisa saban hari menjumpainya. Ruang dan waktu memberi jarak, selah ada jeda pada masing-masing kami berproses sendiri-sendiri.
Menurut saya hidup seperti bernafas, kadang dihirup kadang dilepaskan, pun hubungan orangtua dengan anak ada masanya berjarak.
Tetapi untungnya, masih bisa (setidaknya) Â dua minggu sekali ayah dan anak ketemu. Biasanya kalau libur sekolah, dan orangtua diberi waktu nyambangi.
Kami tak menyia-niakan kesempatan ini, memanfaatkan waktu untuk berbagi cerita dan melepas rasa kangen.
Sepanjang empat belas hari berlalu, selalu saja ada kisah baru yang diceritakan, dan si ayah dengan tekun menyimak
Dalam satu asrama dengan ratusan anak di dalamnya, mereka berinteraksi satu dengan yang lain tentu banyak keunikan di dalamnya.
Saya bisa membayangkan, aneka karakter dan latar belakang yang berbeda berbaur, sangat mungkin terjadi persebrangan persebrangan.
Ada anak yang usil dan jailnya minta ampun, kerap iseng dan sikapnya sangat membahayakan teman lainnya.
Ada anak yang penurut, tetapi menjadi sasaran bully, sehingga sering dilanda stres dan berujung pada sakit badannya. Dan bagaimanapun, orangtua yang akhirnya menjadi benteng pertahanan anak-anak.
Rumah adalah pondasi paling dasar, untuk menanamkan karakter pada anak. Ayah dan ibu sebagai "pewaris", punya tugas memberi teladan yang baik.