Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Jadi Suami yang di Luar Ramah tapi Sinis di Rumah

21 Januari 2020   08:14 Diperbarui: 21 Januari 2020   09:28 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto awal tahun 2000-an, dokpri

Saya bersyukur, punya banyak teman dengan aneka macam karakter (woy, jangan GR, yang punya banyak teman bukan lo doang keleus). Oke, saya yakin Kompasianer pastinya punya banyak teman juga dong---hehehe.

Dan dari interaksi dengan mereka semua, kita bisa belajar banyak hal dan pengalaman. Dari pertemanan pula, saya bisa mendengar , menyimak dan menyimpulkan aneka cerita yang telah disampaikan.

Mulai kawan karib yang biasanya sampai tak enggan curhat, teman yang kenal tapi tidak akrab biasanya hanya cerita sekedarnya. Ada jenis pertemanan yang sekedar kenal saja, ada yang ingat muka tak hapal nama, bahkan ada orang yang ketemu sekilas tapi kita tau nama.

Menyoal pertemanan, sewaktu bujang saya punya banyak teman yang sudah berkeluarga. Dulu di kantor lama di Surabaya, sebagian besar para senior umur anaknya sepantaran dengan saya.

Uniknya rentang usia yang panjang, sama sekali tidak menghalangi keakraban sebagai teman. Maka banyak dari mereka, saya panggil dengan sebutan "Mas" atau "Mbak".

Persis seperti saya sekarang, banyak kenal dan akrab dengan blogger yang masih muda dan bujang. Saya seperti di tarik mesin waktu, dulu saya pernah berada di posisi seperti mereka.

Mencontoh sikap para senior di kantor lawas dulu, maka saya berusaha tidak menjaga jarak. Saya membuka ruang ngobrol dan guyon, dengan teman-teman seumuran keponakan saya. 

Para blogger bujang, saya bebaskan untuk urusan panggilan. Jadi ada yang memanggil dengan sebutan "Pak" ada yang "Om" ada juga yang "Mas"-- bagi saya hal itu sama sekali tidak masalah .

foto awal tahun 2000-an, dokpri
foto awal tahun 2000-an, dokpri
-------

Dulu di awal merantau ke ibukota, saya pernah bergabung di satu komunitas pengajian. Kala itu hanya saya yang bujang, sementara yang lainnya sudah menikah dan memiliki buah hati.

Diantara teman satu kelompok, kebanyakan hanya sekedar kenal. Dan karena saya "anak bawang", kerap menjadi pendengar saja ketika teman lain berkisah. 

Ada satu teman (umur jelang 40-an), beberapa kali pengajian tidak terlihat batang hidungnya. Suatu sore, ustad berinisiatif mengajak kami mengunjungi rumah bersangkutan.

Kebetulan ada teman satunya lagi (di pengajian yang sama) bertetangga, jadi kami tidak kebingungan mencari alamat hendak dituju.

Sepulang dari berkunjung, ada cerita tak mengenakkan di dengar telinga. Kami anggota lain patungan, membantu teman ini  menyelesaikan urusan keuangan.

Dan dari penuturan teman sedang kesusahan ini, meski tidak diungkapkan secara langsung, saya bisa menyimpulkan satu hal.

Kesimpulan ini kemudian semakin kuat, ketika teman lain berpikiran sama dan dibenarkan oleh satu teman yang bertetangga.

Bahwa teman yang tampak ramah di antara kami, ternyata beda perilaku kalau di sedang rumah. Peranginya kerap kasar dan omongannya ketus, tak peduli itu dilakukan kepada istri sendiri.

Saya teringat ketika berkunjung ke kontrakan teman ini, dari gesture dan perilaku si istri tampak begitu tertekan dan serba salah. Untuk mengantarkan minuman, (sepertinya) musti menunggu komando sang suami.

dokpri
dokpri
Melihat peristiwa ini, ingatan saya terbawa ke kerabat jauh, yang kedapatan berperilaku demikian. Karena terhitung ada garis saudara, kerabat ini kerap keceplosan berperilaku kasar ke istrinya di depan saya.

Sang istri kadang tak kuat menanggung beban perasaan, beberapa kali curhat kepada kerabat dianggap dekat dan bisa diajak berbagi kepiluan.

Jangan Jadi Suami yang di Luar Ramah Tapi Sinis di Rumah

Rasulullullah SAW bersabda ; Sebaik baik kalian adalah yang terbaik sikapnya  terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku (HR Ibnu Majah)

Kompasianer, mungkin pernah menemui orang yang bersikap demikian (seperti kisah di atas). Tampaknya baik di pergaulan dan teman-teman, tetapi di rumah berperilaku kasar. Entahlah, mungkin di luar orang ini butuh pencitraan dan image baik.

Tetapi menurut saya, semua upaya yang orang macam ini lakukan akan sia-sia. Karena kerja keras yang dilakukan, tidak bisa dinikmati bersama keluarganya sendiri karena keangkuhannya.

Bayangkan, si ayah yang keras kepala pulang dengan sejumlah uang. Sampai di rumah istri dan anak kelaparan, tetapi istri tidak berani minta uang belanja. Anak-anak tidak ada yang dekat, karena si ayah tidak bisa mengambil hatinya.

----

dokpri
dokpri
Oya, baca juga tulisan saya  "Menikah Bukan Jaminan Bahagia ?" , di artikel ini diuraikan perihal keunikan bahagia.   Bahwa apapun situasi sebuah rumah tangga, sebenarnya sangat bisa dijadikan alasan untuk menciptakan bahagia.

Masalahnya, kalau si ayah sikapnya kasar dan kaku, bagaimana bahagia itu bisa dihadirkan. Padahal Baginda Nabi mengajak umatnya, agar bisa menjadi lelaki baik musti bersikap terbaik kepada keluarganya.

Yuk, menjadi suami yang ramah di rumah, dan juga ramah di luar rumah. Karena kedok hanya ramah di luar saja, lama kelamaan akan ketahuan belangnya.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun