Pernah menjelang siang, saya berjalan terburu-buru menyusuri raya tebet menuju lokasi sebuah acara produk kesehatan. Sehari sebelumnya search di google map, jarak dari stasiun tebet ke lokasi sekira satu setengah kilometer. Oke, saya putuskan berjalan kaki.
Pada hari itu, saya berangkat dengan memakai kaos tipis dirangkap jaket bahan semi plastik (yang biasa dipakai jogging). Begitu turun di peron commuterline Stasiun tujuan, langsung berjalan kaki dan untuk sekalian membakar kalori jalan kaki dibuat seolah terburu-buru.
Setiba tempat tujuan, keringat mengucur deras membuat baju basah kuyub. Karena sudah diniati, maka tak lupa siap dengan baju ganti. Tidak lucu kan, kalau ke acara baju yang dipakai basah oleh keringat.
Pertimbangan saya kala itu, memanfaatkan waktu untuk olahraga sekalian mencari masjid untuk sholat jumat. Dengan ransel besar dipunggung, kaki dan badan punya tugas memanggung beban yang lebih berat. Lagi-lagi karena sudah kebiasaan, maka saya tidak berat hati melakukannya. Â Â
Untuk hal ini (kebiasaan baik) bukan berarti tanpa halangan, selain bisikan "setan" di dalam diri sendiri yang mengajak malas jalan. Kadang teman yang akrab, dengan entengnya tak segan nyeletuk "Kayak orang susah saja"---hehehehe.
Tapi lagi-lagi, seberapa kekuatan komitmen kita, justru ditentukan pada saat genting seperti ini. kalau teguh dengan pendirian, maka hasil baik akan dirasakan sendiri.
Sehat dan Hemat, Disukai Tapi Enggan Dijalani
Kalau mau berhitung, menerapkan gaya hidup sehat tenyata erat kaitannya dengan dampak hemat yang (mau tidak mau) bisa dirasakan. Dari stasiun atau hotel (mengacu dua contoh kasus di atas), kalau dengan ojol maka ada biaya tambahan dikeluarkan.
Tetapi dengan memilih berjalan kaki, maka lumayan bisa berhemat pengeluaran (misalnya) sepuluh ribu rupiah. Itu baru sekali jalan kaki, bagaimana kalau sepuluh kali jalan kaki dalam seminggu. Kemudian kalau dalam sebulan, (misalnya) tiga puluh kali jalan kaki. Maka dampak hemat dirasakan, juga akan lebih terasa.