Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah, Jangan Mudah Meluapkan Amarah pada Anak!

27 November 2019   06:26 Diperbarui: 27 November 2019   06:29 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam sehat Kompasianer semua, terkhusus yang sudah menjadi ayah atau ibu. Semoga berlimpah berkah, mengemban amanah kehidupan -Amin. Benar kata orangtua jaman dulu, bahwa menjadi orangtua memang tidak mudah. Sekolahnya sepanjang hidup, belajarnya setiap saat dan ujiannya tak kenal waktu.

Meskipun sudah menyandang gelar orangtua, (sebagai manusia biasa) dijamin tak lepas dari letupan amarah kepada buah hati. Marah yang benar-benar kesal, dibarengi intonasi suara meninggi, kalimat tajam tak bersahabat, bola mata melotot dan mimik wajah ditekuk menyeramkan.

Saya masih ingat, ketika rasa takut itu menyeruak di dada ini. Siang sepulang dari pasar, ayah marah besar karena ibu mengaku kesal dengan ulah bungsunya saat di warung. Kala itu sedang ramai pembeli, saya merengek (sambil menangis kejer) minta dibelikan mainan. Bisa dibayangkan, bagaimana malunya ibu di hadapan para pelanggan.

Sampai rumah kejadian memalukan tersampaikan, sontak ayah berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Tangan kecil ini ditarik dan  tubuh saya dihempaskan ke lantai, ayah tampak  berjalan terburu-buru ke kamar mandi, sesaat kemudian keluar dengan bak berisi air di tangannya.

"BYUUUR" badan ini basah kuyub, si ragil menangis sejadi-jadinya. Saat itu saya benar-benar dibuat ketakutan, enggan menatap tatapan tajam itu. Kata kata ayah menyentak tertangkap telinga, seperti kiamat kecil bagi anak sekecil saya kala itu. Padahal, dalam keseharian ayah orangnya sabar dan kalem.

Di kemudian hari, perasaan dan hal yang sama mampir di benak anak lanang. Saya ayah yang sedang kesal, meluapkan kemarahan sejadi-jadinya. Bisa jadi perasaan dan pikiran anak, persis seperti yang saya alami dulu semasa kanak-- duuh, nyesel dan kasihan.

-----

islamicparenteningnetwork.net
islamicparenteningnetwork.net
Tidak ada yang melarang, manusia meluapkan marah karena memang menusia dianugerahi emosi. Justru kalau tidak pernah marah, akan stres dan punya masalah kejiwaan. Sesekali marah itu wajar, sesabar sabarnya orang tak ada yang bisa menjamin dirinya lepas dari  kemarahan (contohnya ayah saya).

Menjadi tidak wajar, apabila marahnya keterusan. Menjadi tidak umum, kalau marahnya keterlaluan atau berlebihan. Percaya dengan ucapan saya, ayah dan atau ibu yang marah pada anak dan kebablasan bakalan rugi diri sendiri.

Pernah satu ketika saya marah pada anak, dan marahnya itu yang benar-benar marah. Penyebabnya, si anak mula-mula rewel yang bikin kesal. Kemudian berbuntut pada kejadian berikutnya, susah disuruh makan, ngelawan kalau dinasehati, malas berangkat sekolah dan seterusnya.

Kejadian ini terjadi, ketika mbarep duduk di kelas 2 SD. Lelaki kecil target kemarahan ayahnya, wajahnya ketakutan. Ibunya  bersikap serupa dengan anak, tak berkutik melihat suaminya marah (apalagi marah besar). Entahlah, kala itu semua mendadak tidak ada yang benar di mata saya.

Anak dan ibunya lebih banyak diam tak bereaksi, sesekali punggung tangan si ibu mengusap embun yang jatuh ke pipi. Dan air mata itu, penyebab kerasnya batu karang seketika meleleh. Si ayah luluh mendapati pemandangan syahdu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun