Tak terasa, kita sampai di penghujung bulan sepuluh, sebentar lagi masuk bulan sebelas. Artinya tahun 2019 tinggal dua bulan lebih sedikit, segera berganti dengan tahun yang baru. Bagaimana kabar resolusi awal tahun, semoga sudah banyak yang tercapai ya- Amin.
Sementara bagi anak-anak kelas 12 atau zaman saya dulu kelas 3 SMA, Ujian Nasional (UN) sudah diambang pintu. Seragam abu-abu putih kalian, sebentar lagi akan menjadi kenang-kenangan.
Kami yang anak desa, lepas SMA bisa berarti (punya pilihan) lepas dari tanah kelahiran alias merantau. Karena kakak, paman, dan tetangga sekitar adalah perantau, maka (bagi saya) merantau menjadi impian sejak awal masuk SMA.Â
Setiap saat bisa jalan-jalan ke mal, naik bus kota, naik kereta, ketemu public figure dan seterusnya.
Maka ketika baru duduk di kelas terakhir di SMU, saya sudah merencanakan kota perantauan. Demi memuluskan rencana, saya mencari siapa (tetangga atau saudara) yang sama merantau di kota tersebut.
Kala itu Yogyakarta menjadi tujuan, kebetulan ada kakak kelas yang sekolah di kota pelajar ini. Maka ketika ketemu saat libur lebaran, saya bertanya banyak hal tentang hidup di Yogyakarta. Mulai biaya kost, biaya makan, biaya transportasi, dan sebagainya.
Kali pertama merantau adalah untuk kuliah, dan berbekal informasi dari kakak kelas, dengan tegap kaki ini melangkah ke Yogyakarta. Saya masih ingat, bagaimana deg-degan pergi sendiri dan ke tempat yang jauh.
Sepanjang perjalanan di bus pikiran berkecamuk, tentang kemungkinan yang belum pasti terjadi. Bagaimana kalau bus mogok, bagaimana kalau gak ketemu alamat, bagaimana kalau nyasar, dan bagaimana kalau ini dan itu dan seterusnya.
Akhirnya yang dikhawatirkan tidak terjadi, saya sampai dengan selamat dan bisa fokus belajar. Semua tenaga dan pikiran, dikerahkan agar bisa diterima di kampus negeri impian. Tetapi takdir berkata lain, setelah sekian bulan di kota gudeg, saya tidak diterima di perguruan tinggi diinginkan.