Satu kata "Menikah" bagi sebagian orang, mungkin (untuk satu alasan) berubah menjadi kata kurang disukai. Apalagi orang yang sudah waktunya (mencukupi dari sisi umur), menikah bisa berubah menjadi kata yang cukup sensitif. Saya pernah merasakan dibuat sebal, ketika mendapat pertanyaan "Mana Calonnya" "Duh, bisa beli kendaraan, tapi nyari istri nggak bisa" Â "Kamu tuh ganteng, tapi kok belum nikah" dan seterusnya dan seterusnya.
Status bujangan atau belum menikah, bisa saja dimanfaatkan oleh orang yang punya maksud dan tujuan tertentu (baca, Â tidak baik). Ada yang karena iri, menggunakan situasi (belum menikah) dijadikan senjata untuk menjatuhkan mental orang lain yang bujangan. Ada juga, yang nyinyir dan suka menyindir tentang kejombloan orang lain, karena tidak suka dengan pencapaian orang tersebut (yang jomblo)
Hal tidak ideal ini bisa dialami oleh siapapun, justru yang demikian membuat hidup berjalan dinamis dan penuh tantangan. Biasanya adrenalin manusia baru tergerak, kalau ada tantangan atau ada hal yang mengusik. Maka sebaiknya, semua keadaan dan situasi disikapi atau dilihat dari sisi positif. Kenyinyiran dan sifat iri orang lain, menjadi kesempatan bujangan untuk berjuang lebih keras menemukan belahan jiwa.
Kalau orang lain tetap mau nyinyir, abaikan dan senyumin saja toh resiko akan ditanggung sendiri di kemudian hari. Biasanya orang yang suka menyudutkan orang lain, mendapat ganjaran akan dijauhi dan kurang disukai dalam pergaulan---hidup selalu adil kan.
Menurut saya, menikah adalah kata kerja, makanya butuh kesiapan fisik, mental, financial, dibarengi usaha yang tidak sedikit. Mulai dari meniatkan diri untuk menikah, kemudian memulai mengambil langkah, menjalankan dan apalagi mempertahankan pernikahan, pasti butuh energi lahir dan batin sepanjang waktu. Dulu, sewaktu ingin menemukan calon istri, saya mengerahkan effort tidak kepalang. Saya mencari melalui berbagai cara dan kesempatan, nyatanya tidak juga mendapatkan. Daun telinga ini sampai menebal, ketika dinyinyiri dan disindir oleh teman dan kerabat.
Akhirnya, saya mencari bantuan seorang teman untuk mencomblangi. Siapa sangka, rupanya cara ini menjadi jalan dipertemukan dengan calon istri yang sreg untuk kemudian memutuskan menikah.
Mempersiapkan pernikahan, butuh tekad didukung mental dan material yang mencukupi. Tabungan di rekening bank diambil, untuk  membeli seserahan dan perlengkapan yang memperlancar hajatan.
Kemudian kehidupan setelah pernikahan, adalah medan perjuangan yang sesungguh-sungguhnya. Suami istri dituntut menggali keindahan sejati, melalui serangkaian suka duka dalam perjalanan kehidupan pernikahan.
Tapi ajaibnya, (saya alami sendiri) kita dimampukan untuk memenuhi kebutuhan itu semua, melalui jalan tidak diduga-duga. Kalau memutar balik waktu masih punya balita, saya kerap dibuat takjub, bisa mencukupi semua kebutuhan (tanpa berhutang) dengan gaji tetap yang tak seberapa.