Menjelang mudik, di timeline media sosial saya berseliweran status, perihal pertanyaan apa saja yang jamak ditanyakan sesampai di kampung halaman. Kebanyakan pertanyaan, memang terkesan memojokkan dan tak jarang membuat kapok, akhirnya yang ditanya enggan bertemu si penanya.
Saya yakin, Kompasianer's pasti bisa menebak, apa saja daftar pertanyaan yang menjadi 'momok' dan membuat kesal tersebut. Adalah 'Kapan Nikah', 'Mana Calonnya', pertanyaan bagi yang jomblo, kalau sudah menikah maka pertanyaan jadi berubah 'Sudah isi apa belum', 'Kok belum punya anak', 'Kamu nikah sudah berapa tahun, kok belum juga punya anak' dan pertanyaan sejenisnya.
Perihal pertanyaan 'Kapan Nikah' sudah saya tulis di artikel sebelumnya, "Hadapi Saja Pertanyaan 'Kapan Nikah' Toh Lewat Juga." Pada artikel ini, saya hendak membahas, bagaimana menangkal pertanyaan 'Apa sudah Isi' atau ' Kok, belum punya anak' bukan dengan sekedar jawaban kalimat tapi sekaligus dengan upaya atau action.
Konon, Nabi junjungan Rasulullah SAW memberi teladan, bahwa cara menjawab pertanyaan terhadap orang yang meremehkan atau bermaksud menjatuhkan atau mengerdilkan kita adalah dengan membuktikan bahwa prasangka mereka terbantahkan.
Karena memberikan jawaban pada orang yang tidak suka (atau mengkritik atau apalah istilahnya), akan berbalas pertanyaan/kritikan susulan, ujung-ujungnya terjadi debat kusir tak berpenghabisan (persis seperti dilakukan pendukung pilpres -- hehehe)
"Saya suka pusing, kalau antar istri belanja ke supermarket, pulang bukannya bawa belanjaan malah nangis" curhat seorang teman "Gara-gara di Supermarket, lihat anak kecil lucu ikut belanja ibunya dan duduk di dudukan trolli, jadinya istri bawaannya baper"
Dari kisah di Supermarket, teman ini cerita kalau sudah lama menikah, dan setelah berusaha ke sana kemari, nyatanya buah hati yang dinanti belum juga kunjung tiba. Banyak kisah serupa saya dapati, kerap mengundang pilu saat mendengarnya.
Anak adalah hak prerogatif Tuhan, kehadirannya tidak bisa dipercepat atau diperlambat sesuai kemauan manusia. Persis seperti datangnya jodoh, tugas kita manusia sebatas berdoa dan berusaha semaksimal kemampuan.
Bagi saya, orang yang mempertanyakan 'Kok Belum Isi', 'Kapan punya anak', 'Kapan Nikah', adalah ulah orang iseng dan kurang kerjaan, sehingga julid dan punya banyak waktu untuk ngurusi orang lain. Alih-alih memberi solusi, biasanya mereka (yang julid) mencibir dan menjatuhkan mental orang ditanya.
Berbeda dengan orang yang punya niat untuk berempati atau memberi perhatian, biasanya akan tahu tempat dan waktu, sehingga yang ditanya juga akan merasa nyaman. Pemilihan kalimat untuk bertanya, tidak terkesan memojokkan atau (apalagi) menjatuhkan.
Anak adalah buah cinta dan buah hati, kehadirannya sanggup menyejukkan kalbu, selain sebagai penyemangat, anak menjadi alasan ayah dan ibu tetap bertahan dan tegar menghadapi ujian kehidupan.
Sebagai ayah saya merasakan, meski berpeluh keringat dan kelelahan menjemput rejeki, tetapi rasa iklhas dan bersemangat bersemayam di dada, ketika mengingat istri dan anak-anak.
Bahwa kehadiran anak menjadi perekat hubungan suami istri, betul begitulah adanya, bahwa adanya anak bisa sebagai penyempurna kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga tidak bisa disangkalkan. Rumah yang megah dan mewah bisa jadi terasa sunyi, ketika tidak terdengar suara atau tangis sang bayi, begitulah ujian kesabaran harus dihadapi.
Menyoal ada atau belum ada kehadiran anak, (sekali lagi) sepenuhnya bukan kuasa manusia, tetapi selama ada waktu dan kesempatan kita tidak boleh putus semangat. Di era modern, bagi yang berkecukupan bisa mencoba metode bayi tabung, tapi ada juga tradisi untuk mendapatkan momongan.
Kehadiran buah hati bisa diupayakan, dengan tradisi (kalau di daerah saya dinamakan) 'Mupu Anak' istilah ini cukup familiar di daerah Jawa pada umumnya (saya yakin di daerah lain juga), bahasa populernya, adalah mengangkat anak atau mengadopsi,
Bagi pasangan suami istri yang belum memiliki momongan, para sesepuh di kampung saya menyarankan mupu anak, sebelum memiliki anak kandung yang lahir dari rahim sendiri.
Tradisi Mupu Anak, Sebelum Mendapatkan Anak Kandung
Di kampung saya, ada beberapa tetangga dan saudara, memutuskan 'mupu' anak setelah bertahun tahun menikah dan belum dikaruniai buah hati. Mupu anak harus dilandasi rasa saling percaya antar orangtua, sebaiknya dibuat kesepakatan tertulis berkekuatan hukum, untuk menghindari hal-hal di kemudian hari.
Bayi yang hendak diadopsi, sebaiknya di ambil beberapa saat setelah bayi dilahirkan, sehingga bayi langsung merasakan belaian sayang dari ibu angkatnya. Ibu angkat yang bersedia dibuat repot, mengurusi mulai dari menggantikan popok, nyebokin, mandiin, gendong dan menidurkan, bikin susu tengah malam dan seterusnya, tak ubahnya seperti ibu kandung.
Konon, dengan segala jerih payah dilakukan ibu angkat, akan membuat hubungan anak angkat dan ibu semakin erat dan layaknya anak dan ibu sendiri. Dan siapa nyana, dari beberapa pengalaman saudara atau tetangga atau kenalan, yang menerapkan tradisi mupu anak rupanya berbuah manis dan menjadi cara yang manjur.
Ada yang bilang, 'mupu anak' sebagai upaya memancing kehamilan, tapi kalau saya kurang sepakat. Bagi saya, mupu anak adalah ikhtiar kita manusia, atau cara pembuktian bahwa orangtua (yang belum diberi momongan) sudah siap kalau sewaktu-waktu Tuhan memberi anugerah berupa kehamilan.
Bagi yang sudah mupu sebelum punya anak, pastikan teguh dalam pendirian dan tidak pilih kasih ketika sudah punya anak kandung, karena anak pertama menganggap ibu yang mengasuh adalah ibu kandung.
Perihal kapan waktunya anak (yang di pupu) mengetahui keadaan sebenarnya, sebaiknya dirundingkan antar orangtua, agar berdampak baik pula bagi perkembangan anak.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H