Â
Satu dua bulan sebelum Ramadan 1440 datang, saya sempat kepikiran, kalau bulan puasa tahun ini adalah puasa dengan ujian double berat, karena bebarengan pengumuman hasil pilpres. Ribut dua kubu terjadi, sudah jauh hari sebelum pencoblosan (17/ April) tiba, satu pihak menyanjung satu paslon dan lainnya menjatuhkan (begitu terus berbalas-balasan).
Saling mengomentari hal tidak baik, terus bersahutan, seolah tidak ada waktu tanpa menjelekkan kubu rival. Ada satu pendukung fanatik, sampai menulis status nyinyir di medsos dan puncaknya si penulis 'berani potong leher' kalau paslon yang tidak didukung menang.
Saya semakin pesimis, status-status dari pemilik akun dengan kualitas seperti itu (sama saja dari kedua kubu), akan adem sepanjang bulan Ramadan berlangsung. Padahal apa untungnya, kalau rivalnya benar-benar menang, apakah yang bersangkutan berani memotong leher sendiri.
Pengumuman hasil pilpres, berbuntut pada situasi yang memanas, selasa (21/5'19) sore kebetulan saya ikut acara Nangkring Kompasiana (sekalian bukber) di daerah HI, beberapa teman berkabar susah menuju tempat acara karena akses menuju lokasi ditutup.
Sehari berikutnya (22/5'19) daerah Thamrin (depan kantor Bawaslu) lumpuh, perkantoran di sekitarnya tutup dan karyawan diliburkan, daerah tersebut menjadi pusat kerumunan masa melakukan demo. Huru-hara keributan terjadi, melebar ke beberapa tempat di Jakarta (Tanah Abang, Petamburan-Slipi).
Ribut tak hanya di dunia nyata, di time line medsos tak kalah riuh, foto dan tulisan begitu penuh amarah dan kebencian (ada yang membawa-bawa kalimat perang badar) disebarkan.Â
Puncaknya, selama tiga hari Instagram dan Facebok down, bebarengan kerusuan di daerah Thamrin, kericuhan berita hoax viral di dunia maya. Ya Alloh, ini bulan Ramadan, kenapa kami seperti ini"
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam."
[HR Bukhari]
Â