Tradisi megengan di beberapa daerah di Jawa, ternyata berbeda adat dan pelaksanaanya, hal ini saya ketahui setelah googling. Menjawab tantangan Kompasiana di Samber thr, saya ingin membahas tradisi megengan yang diadakan di desa kecil di kaki Gunung Lawu.
"Sana, ikut muter slametan megengan"
Pertengahan th 90-an, Suatu sore selepas sholat ashar ditunaikan, di hari terakhir bulan Sya'ban, para kepala keluarga atau bisa diwakili anak laki-laki beranjak dewasa, bertandang bergantian dari satu rumah ke rumah lainnya.Â
Sekira sepuluh sampai lima belas orang, merunut rumah dari paling ujung ke ujung, mengadakan selamatan menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi seperti ini, di desa saya dinamakan megengan, sebagai wujud kebahagiaan menyambut puasa keesokan hari.
Sebelum selamatan, biasanya setiap rumah bebersih, mulai dari korden, selimut, sprei, sarung bantal, taplak, tikar semua dicuci bersih. Pun penghuni rumah, juga mandi besar atau keramas, pertanda menyucikan diri, memantaskan diri memasuki bulan suci.
Nah, sesuai jumlah orang yang ada di dalam kelompok megengan (10 -- 15 ), maka setiap rumah juga menyediakan besekan (nasi kotak) sejumlah yang dibutuhkan. Kalau rumah orang yang cukup terpandang (camat, kades, tokoh masyarakat), biasanya menyediakan nasi kotak dua kali lipat, itupun biasanya ada tambahan kotak sncak.Â
Jumah orang tidak selalu baku (sesuai jumlah rumah) kadang ada satu rumah diwakili dua orang ( dan tidak dipermasalahkan anggota kelompok), jadi pulang bisa membawa jatah double. Dari muter muter selametan megengan itu, Â saya pulang beberapa saat jelang magrib, bisa membawa pulang sekira dua puluh kotak makan---bahkan bisa lebih.
 "Eman-eman (sayang) yo bu", gumam ayah kepada ibu.
Ayah saya, adalah orang yang (bisa dibilang) miris, mendapati banyak makanan, yang tidak mungkin habis untuk makan malam dan sahur, keesokan hari sudah puasa hari pertama.
Lagian, berapa sih  ukuran lambung kita, sekenyang-kenyangnya kita makan, paling dua kota nasi juga sudah tidak kuat menampung dan akhirnya bega. Selepas maghrib, lelaki sederhana itu, dengan tekun menyatukan nasi dengan nasi, sayur sejenis di masukan di mangkok, lauk-pauk ditaruh rantang, krupuk disatukan dalam toples.