Pemilu 2019 adalah pemilu yang mengesankan bagi saya. Pasalnya, pemilu tahun ini, menjadi kali pertama keterlibatan saya sebagai petugas KPPS. Apa enaknya menjadi petugas KPPS? Jangan bicara masalah enak tidak enak, bagi saya ini adalah kesempatan tidak sembarang kesempatan -- nanti saya cerita di belakang.
Kalau pada pemilu sebelumnya, sebagai pemilih saya hanya datang (biasanya jam sepuluh siang), menunggu sebentar dan mencoblos tak sampai lima menit. Maka pada pesta demokrasi kali ini sangat berbeda, saya sudah sibuk dari dua atau tiga hari sebelum hari pencoblosan dilakukan.
Saya kebagian tugas menulis nama warga di surat undangan pemungutan suara model C6 untuk warga RT 10 di tempat saya tinggal. Sehari sebelum hari H (Selasa 16/4/19), pada malam harinya mempersiapkan lokasi TPS dan segala perlengkapan diperlukan. Maunya, Selasa malam semua sudah beres, artinya kotak suara diterima, bilik suara dipasang, alat peraga ada di tangan.
Tapi ternyata ditahan Pak RW, semua logistik Pemilu baru kami terima sekira jam 6 pagi, jadi kami langsung bergegas memasang peraga dan semua yang dibutuhkan dengan cepat. Bersamaan kedatangan kami (petugas KPPS) di lokasi pemungutan suara, saksi dari partai dan petugas Bawaslu juga datang.Â
Semua persiapan dilakukan dengan cepat, mengingat jam 7 pagi sudah ada warga yang datang untuk memberikan hak suara. Maka kami melakukan sumpah sebagai Petugas KPPS, dihadapan saksi partai, petugas Bawaslu dan warga yang sudah hadir
"Ibu Sri Maryati," dari pengeras suara panggilan terdengar. Nama disebut langsung berdiri, berjalan menghampiri petugas yang memanggil, kemudian diserahkan lima kertas suara.
Saya bertugas mengarahkan ibu sepuh, masuk ke bilik suara yang mana-- ada empat bilik-- memastikan semua bilik suara terisi dari paling ujung. Jam lumayan ramai adalah rentan 8.00-11.00 siang, tidak sampai satu menit bilik ditinggal pencoblos, sudah digantikan dengan warga lainnya.
Tapi sungguh, saya senang bisa membantu, meski ada warga yang terburu-buru, sehingga memasukkan dua surat di kotak suara yang sama.
"Bagaimana petugas Bawaslu dan Ketua KPPS?" teriak saya.
Waktu seperti terhenti, semua mata tertuju pada saya dan ibu berdiri di dekat kotak suara, -- tik tok tik tok tik tok, suara jarum jam terdengar merdu. "Lanjut saja Pak, mohon diingat di kotak suara mana yang salah" jawab petugas Bawaslu. Kegiatan kembali normal seperti sedia kala.
Satu per satu warga datang memberikan hak suara, kami melayani dengan penuh sukacita, tidak ada yang kami beda-bedakan. Satu ibu kira-kira umur jelang delapan puluh tahun, terpaksa ditemani anaknya di balik bilik, dibantu membuka surat suara dan mencoblos.
Ada juga warga disamperin ke rumah (oleh satu petugas KPPS dan satu saksi Partai), karena sedang sakit dan tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Ada yang mengajak anak dan menangis di bilik, "mas tolong jagain cicit saya ya," seorang embah buyut menitip anak umur empat tahunan ke saya.
Lalu, bagaimana kami mencoblos? kebetulan saya dan beberapa petugas lain, mencoblos di TPS berbeda, jadi dibuat jadwal bergantian -- di atas jam 11 siang, setelah TPS agak sepi.
Bagaimana istirahatnya? untuk sementara jangan berpikir ngaso, kami bergantian pulang saat menunaikan shalat lima waktu.
Ngemil snack sembari mengurusi warga, makan siang dilakukan bergantian menunggu TPS sedikit lengang -- seperti jam shalat. Pada tengah hari, dua petugas kepolisian didampingi Pak RW mengunjungi TPS, memastikan kegiatan berlangsung aman dan lancar.
Pukul 13.00 lewat satu menit saja, TPS tidak menerima warga yang hendak memberikan suara -- aturan dari Bawaslu TPS tutup jam 13.00, kecuali warga yang sudah mendaftar sebelum jam 13.00.
Nasi kotak disediakan panitia, kami (petugas KPPS) makan bersama saksi partai dan petugas Bawaslu (hal yang sama berlaku saat makan siang dan snacking). Sepanjang hari, kami saling bahu membahu pekerjaan, nyeletuk, dan bercanda sebagai cara mengalihkan penat dan kelelahan.
------
Tanpa terasa, kami sampai pada pergantian hari, pengisian formulir laporan ke Bawaslu, benar-benar menyita konsentrasi. Sementara tenaga sudah tinggal yang tersisa, kami musti mencocokan jumlah suara sah, suara tidak sah dan kartu tidak terpakai atau sisa.
Satu suara saja selisih, kami musti menghitung ulang, untungnya di TPS kami hanya satu dua kali saja terjadi dan segera diketahui letak kesalahan. Menurut warga yang datang melihat penghitungan, TPS tidak jauh dari tempat kami ada yang jam sembilan malam baru satu dari lima kotak surat suara selesai dihitung.
Satu bagian membutuhkan konsentrasi super tinggi, adalah membuka stiker segel Pemilu yang tipis dan gampang sobek. Stiker tanda segel, kemudian ditempel di bagian untuk membuka amplop, memastikan tidak sembarang orang boleh membukanya.
"CEKREEK," batin ini melonjak saat melihat gembok dipasang di kotak suara terakhir, artinya semua berkas sudah sesuai dengan catatan dan siap diantar ke kelurahan.
"Huuuuh," kami petugas KPPS, saksi partai dan petugas Bawaslu bersamaan menghembuskan nafas panjang tanda lega. Setelah kami semua bersalaman, saksi partai pamit, Ketua KPPS mengajak satu di antara kami ke kelurahan dengan kawalan petugas Bawaslu.
"Lumayan bisa istirahat lebih cepat," bisik benak ini setalah tahu ternyata bukan saya yang diajak menyerahkan kotak surat suara.
------
Rasa capek yang saya dan petugas KPPS lainnya rasakan sebagai persembahan dan bukti kecintaan kami untuk bangsa tercinta ini. Bahwa masa depan bangsa ini lebih utama, sebagai rakyat biasa saya sangat tersanjung bisa berkontribusi meskipun hanya secuil yang bisa dilakukan.
Kalaupun pemilu berikutnya, saya masih ada umur dan diberi kesempatan lagi, tentu tidak akan saya sia-siakan.
Sungguh, saya bangga menjadi petugas KPPS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H