Siapa menyangsikan, bahwa waktu terus merangkak ke depan. Suka tidak suka, setuju atau menyangkal, usia semakin beranjak menua. Memasuki usia kepala tiga, (pengalaman saya nih) biasanya tanda peringatan menikah semakin santer menderu di daun telinga.
"Lu kapan nikah?","Sendirian saja, calonnya mana?","Lu ganteng, tapi belum merrid", "Teman SMA sudah pada punya anak, kamu nikah saja belum."
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kita masih terikat budaya ketimuran, para orangtua (biasanya) gelisah kalau anaknya belum menikah pada usia sudah cukup.
Kegelisahan dirasakan semua orang (termasuk saya), apabila masih adem ayem saja, sementara teman sepantaran sudah bersanding di pelaminan. Menjomblo (menurut saya) tidak ringan, saya merasakan bagaimana tidak enak dibombardir pertanyaan serupa dengan aneka motif dibaliknya.
Ada yang nyata-nyata ingin menjatuhkan mental, ada yang sekedar ingin tau saja, ada yang menawarkan bantuan menjadi mak comblang, ada yang empati diam diam menaruh hati.
Semua musti diterima dengan lapang, meskipun di dalam dada ini berkecamuk kesal, marah, dendam dan perasaan lainnya. Sendiri mencari belahan jiwa, memang butuh ketahanan mental, menangkis stigma (seolah-olah) 'negatif' disematkan bagi yang belum menikah.
"Oo, pantes, orang pada ilfil" bisik-bisik terdengar
Tidak jarang orang lain menelisik sikap diri, bisa dianggap jutek, muka tidak ramah, tidak sumeh, muka tidak bersahabat dan lain sebagainya. Segala sikap yang dianggap tidak berkenan dikait-kaitkan, menjadi penyebab orang tidak simpatik sehingga jodoh enggan mendekat -- tapi sudahlah.
Ya, menunggu datangnya jodoh, memang tidak semudah membalik telapak tangan, ibarat mengharap hujan di musim kemarau (tapi bukan berarti tidak mungkin ya).
Kita tidak boleh terpengaruh mentah-mentah penilaian orang lain, mungkin ada benarnya tapi saya yakin banyak tidak benarnya juga.