Saya masih ingat, tepat pada di hari pernikahan. Seorang sahabat datang bersama istri yang masih pengantin baru. seperti tamu lazimnya, teman ini naik panggung pelaminan, kemudian menjabat tangan sembari berkelar
"Kita, dulu-duluan ya mas"
Saya dan istri tersenyum, menanggapi tantangan sebagai sebuah gurauan akrab. Kami paham maksudnya, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Karena di belakang barisan masih ada tamu lain antre bersalaman, sehingga kami tidak bisa berpanjang bincang.
Penganten baru sahabat kami, baru dua bulan yang lalu melaksanakan ijab kabul. Saya dan (saat itu masih) calon istri hadir, pada saat resepsi pernikahan dilangsungkan.
Entahlah, kadang hal atau perkataan (dianggap) sepele justru menempel di benak. Termasuk tantangan guyon di pelaminan, nyatanya tidak terlupakan sampai sekarang.
Dua minggu setelah menikah, saya mengajak istri pindah ke rumah kontrakan. Sebagai pendatang baru, kami lapor dan menghadap ketua RT. Selanjutnya berkenalan dengan tetangga, berkunjung kepada beberapa sesepuh, selanjutnya beradaptasi dengan lingkungan baru.
Tidak jauh dari tempat kami tinggal, terdapat loket pembayaran listrik untuk warga, seorang Ibu bertubuh subur adalah petugasnya, Dari garis wajah dan perawakan yang disandang, saya menerka-nerka usia ibu ini dua atau tiga tahun di atas saya.---di kemudian hari ternyata benar
Karena istri paling sering di rumah, maka si ibu kerap berinteraksi dan akhirnya akrab. Melalui cerita istri, petugas loket ternyata masih gadis alias belum menikah.
Saking penginnya menikah dan mempunyai anak, ibu baik hati ini minta tolong dicarikan kenalan dan menganggap semua keponakan sebagai anak sendiri dan maunya dipanggil bunda.