Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Benar Rindu itu Berat, yang Benar Rindu itu Nikmat

6 Agustus 2018   09:16 Diperbarui: 6 Agustus 2018   09:33 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana menjenguk anak di pesantren- dokumentasi pribadi

Toh, cepat atau lambat. tiba saatnya anak mandiri dalam arti sebenarnya. Mereka lepas dari tanggungan orang tua, bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Akan datang waktunya, anak melangkahkan kaki lebih lebar dan jauh. Tak lagi dalam jangkauan tangan dan pandangan ayah ibunya, karena mereka telah menjalani dunianya sendiri.  

Mengelola Perasaan Rindu

Mengirim anak ke Pesantren dengan sistem boarding (menginap), memiliki konsekwensi berbeda dengan anak yang sekolah umum --pergi pulang ke rumah.

Perlu persiapan tersendiri (selain dana, mental tentunya), sehingga tidak terlalu kaget agar langkah tidak surut ke belakang.

Ada satu dialog sempat viral, dari di film Dilan 1990, film ini juga melambungkan nama dua pemeran utamanya. Lebih kurang kalimatnya seperti ini "Jangan Rindu, ini berat kamu tidak akan kuat, biar aku saja."

Kebetulan saya sudah melihat film tersebut, konteks rindu dimaksud, menggambarkan perasaan dua anak berseragam abu-abu putih, sedang dimabuk oleh cinta.

Jagoan kami sedang menimba ilmu di pondok -dokpri
Jagoan kami sedang menimba ilmu di pondok -dokpri
Saya kini merasakan sendiri, betapa menanggung rasa rindu memang tidak mudah (konteksnya rindu berbeda). Tetapi ketika mengingat tujuan anak ke pondok, membuat kami tidak gentar dengan rasa rindu.

Bahwa menuntut ilmu menjadi bagian dari jihad, hal itu sangat kami yakini kebenarannya. Semakin rasa rindu itu mendera, semakin kami orang tua tertantang menghadapinya.

Maka ketika rasa kangen menghampiri, doa kami balaskan untuk anak lanang. Merapal doa, menyebut nama, membayangkan wajah bersih itu, seperti mengalirkan tenaga kasat mata.

Kami sangat meyakini, pengharapan kami sampai di sanubari lelaki baliq kami. Mengeratkan hubungan batin, saling menguatkan dan melahirkan energi tak terjemahkan kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun