Terhitung satu bulan lebih dari hari pertama, kami mengantarkan si sulung menimba ilmu di Pesantren. Â Waktu awal berjarak dengan anak kesayangan, perasaan berat sempat menggelayuti.
Melepaskan anak menempuh jalan telah dipilih sendiri, membawa orang tua seolah berada di persimpangan antara tega dan tidak tega.
Saya masih ingat, bagaimana perasaan hampa menghampiri kala itu. Sampai di rumah, tidak lagi mendengar suara berantem, rebutan makanan dan atau mainan khas adik dan kakak.
Barang-barang milik anak tidak ada yang menyentuh, semua tetap setia berada ditempatnya. Bola kulit biasa dimainkan teronggok di sudut teras, komik Naruto dan Si Juki tidak lagi berserakan di atas tempat tidur.
Omelan si ibu seolah dibungkam, karena tidak lagi berisik, minta empunya mainan merapikan dan mengembalikan ke tempat semula.
Seperti sebuah sulapan, semua mendadak berubah seketika. Siap tidak siap, suka tidak suka harus dihadapi sebagai konsekwensi, sembari belajar menata hati untuk menerimanya.
Tetapi kami genggam sebuah keyakinan, bahwa situasi ini pasti bisa dilampaui. Sudah banyak anak lain juga mondok, Â nyatanya bisa bertahan dan berhasil terjun ke tengah masyarakat.
Bahwa kegamangan dialami berlangsung sesaat, akan berlalu seiring berjalannya waktu. Akan teralihkan perhatian, dengan mengerjakan kegiatan keseharian lainnya.
Sebulan lebih si sulung menimba ilmu di pondok, sangat manusiawi  kalau rasa kangen orang tua menyeruak.
Kesempatan menjenguk, sebiasanya saya dan atau istri memanfaatkan. Satu atau dua jam bertemu dan ngobrol, menjadi penawar beban kangen sempat menggelayuti.
Bahwa setiap keadaan kehidupan, memang memiliki jatahnya sendiri. Setiap manusia tak punya pilihan lain, kecuali menjalani dan mengambil hikmah dari setiap proses.