Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Suka Duka Pekerja Lepas, Lebaran Tanpa THR

6 Juni 2018   10:04 Diperbarui: 6 Juni 2018   12:25 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebagai karyawan kantoran, hal paling happening dibahas saat tengah puasa adalah 'Tunjangan Hari Raya (THR)'. Apalagi kalau sudah dua minggu puasa dijalani, topik THR sebagai tema paling mengemuka. Setiap ketemu petinggi kantor yang diakrabi, dengan nada bercanda bertanya ,'THR kapan keluarnya Pak?' THR hitungan satu bulan gaji, memang sangat menggiurkan, bisa untuk mencukupi kebutuhan lebaran. Bisa membeli aneka macam kue , mempersembahkan baju baru untuk keluarga, menyisihkan untuk beli tiket mudik serta menyiapkan angpau untuk keponakan.

Maka jangan heran, memasuki minggu terakhir bulan puasa, menjadi saat kantong sedang tebal-tebalnya. Pusat perbelanjaan ramai pengunjung, tak hanya mall atau supermarket ternama, bahkan pasar tradisional juga ramai pembeli. Kalau di pasar kecil di kampung saya, ada istilah namanya pasar prepegan atau pasar ramai jelang lebaran.

Kali pertama saya menerima THR, puluhan tahun silam sebagai pegawai bagian belakang di sebuah restoran ternama. Kala itu masih kuliah semester awal, tercatat sebagai mahasiswa sembari kerja. Sebagai pegawai rendahan (anak bawang), jumlah gaji saya belum seberapa. Meskipun mengantongi dua kali gaji dalam sebulan, tetap saja tidak leluasa belanja kebutuhan lebaran.

Sebagai bujangan, saya tidak terlalu memikirkan kebutuhan lebaran untuk diri sendiri. Kaos lama dimiliki, masih sangat layak dipakai berhari raya. Mau membeli kue ini dan itu, buat apa juga kalau belum punya tanggungan. Akhirnya saya membeli mukena dan sarung, oleh-oleh lebaran untuk ibu dan ayah di kampung. Sementara urusan kue, mendapat parcel dari tempat kerja.

Saya masih ingat, bagaimana ekspresi bahagia orang tua kala itu. Wajah ayah dan ibu berbinar-binar, sembari membuka bungkusan yang ditumpuk dengan kue parcel lebaran --dari tempat kerja. Anak ragilnya yang baru bisa cari duit, sudah menyisihkan uang untuk membahagiakan orang tua. Mukena terusan dengan renda di bagian tangan, langsung dipakai ibu -padahal belum dicuci- sholat subuh ke masjid. Sementara sarung untuk ayah, dieman-eman untuk dipakai sholat idul fitri.

THR demi THR, rutin saya terima setiap tahun ketika masih berstatus karyawan. Kemudian setelah menikah, ada jatah istri menerima THR dari suaminya. Kemudian selain ibu sendiri, tak lupa menyiapkan untuk ibu mertua. Seiring bertambahnya usia, sejalan dengan bertambahnya kebutuhan dan tangung jawab, nyatanya rejeki yang bernama THR itu cukup-cukup saja.

Kalau ditanya, "bagaimana suka duka soal THR?" sungguh, saya nyaris tidak pernah merasakan duka terkait THR. Mulai kali pertama terima THR yang angkanya tidak sampai seratus limapuluh ribu rupiah, sampai THR terakhir saya terima -- tujuh tahun lalu- saya tidak merasakan duka itu. tersebab ada satu kunci saya pegang, adalah membelanjakan THR sesuai kebutuhan dan kemampuan. 

Misalnya mau membeli mukena, melihat di pasar terdapat aneka  jenis mukena dengan harga berbeda. Kalau memang dana disiapkan, adalah mukena (misal) seharga seratus lima puluh ribuan, ya cari di lokasi yang menyediakan mukena seharga budget. Pun dengan kue lebaran, pun dengan tiket mudik, pun dengan angpao lebaran, semua sangat bisa menyesuaikan dengan keadaan keuangan.

Tak jarang kita,  kerap kalap belanja di luar rencana. Maunya beli mukena,  pulang bawa mukena plus sajadah,  jilbab,  sarung,  peci dan sebagainya.  "Mumpung lagi discount" alasan dikemukakan.  

-00o00-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun