Lalu lintas Jakarta, sedari dulu akrab dengan kemacetan. Mau pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari sekalipun. Ruas jalan megapolitan, tak pernah senyap dari lalu lalang kendaraan.
Namun berkegiatan musti terus jalan, seperti halnya roda kehidupan yang berputar. Terbukti, kami lima Kompasianers, malam ini beratap langit jalanan Jakarta.
Yang dinanti tiba, mobil pesanan berhenti, meski lebih lambat tiga menit. Sebelum gerimis menjelma hujan, satu persatu bergegas menempati jok di dalam mobil.
Udara penat jalanan, berganti nyaman dari pendingin mobil. Musik slow sedang diputar, mengalirkan rasa tentram dan ketenangan.
"Selamat malam, ke Stasiun Tanah Abang, ya Pak-Ibuk"
Driver Uber  bertutur sopan, menyebutkan tujuan, memastikan membawa orang yang tepat.Â
"Iya Pak, Ke Tanah Abang"
Mbak Tuty menjawab ramah. Kami memaklumi, atas keterlambatan beberapa menit.
Kemacetan dan Rade Sharing dalam Sudut pandang
Sudah satu tahun lebih, saya lebih suka bepergian dengan transportasi  publik. Entah Trans jakarta, Commuter Line atau transportasi berbasis  online (baca, Uber Motor atau UberX)
Dulu, kemana-mana saya naik  motor, kerap terkena stress di jalanan. Sampai satu waktu, ketika  berpapasan dengan palang kereta sedang ditutup. Saat menunggu  serangkaian gerbong melintas, bunyi sirene terdengar memekik telinga.