Dua minggu yang lalu, tetangga mengirim undangan pernikahan anak sulungnya. Namanya tetangga, tentu tidak kami abaikan acara istimewa hendak digelar. Istri menandai kalender, agar tanggal dimaksud tidak pergi kemana-mana.
"Pokoknya, kita jangan sampai tidak datang, gak enak" celetuk istri.
Tetangga satu ini, pernah mengulurkan tangan saat kami kebingungan. Kala itu, istri kesulitan mencari baju daerah, buat hari kartini di sekolah anak kami. Berkeliling ke beberapa tempat sewa baju, ternyata sudah habis diambil penyewa yang lebih dulu datang.
Dari tetangga dekat menyelamatkan, baju daerah Sumatera Barat dipinjamkan secara gratis. Rupanya baju daerah milik bungsunya -baru lulus SD-, masih tersimpan rapi di lemari.
Alhasil, kami semakin tidak punya alasan, tidak datang ke acara malam itu. Meski sebenarnya, acara resepsi dihelat pada waktu relatif kurang pas. Pada minggu malam, saat anak-anak seharusnya belajar untuk sekolah senin pagi.
Bisa jadi, bukan keluarga saya saja yang membatin hal ini. Mengingat banyak tetangga baru, kebanyakan keluarga dengan anak masih sekolah dasar.
Namun tak apalah, toh hanya sesekali ini. Untuk mengakali, anak-anak belajar sebelum adzan ashar tiba. Dengan perhitungan tepat, selesai maghrib kami sekeluarga bisa berangkat ke gedung tempat resepsi.
Empunya acara pintar juga, mengundang pesta pas jam makan malam. Menilik jam tertera di undangan, saya yakin sebagian besar undangan datang dengan perut kosong. Sehingga bisa sekalian makan malam, sekaligus menunaikan kewajiban mendatangi undangan.
-0o0-
Suasana adat Sumatera Barat begitu kental, ketika kami memasuki gedung perhelatan. Panitia berpakaian adat Padang, dengan warna dasar biru berbalut warna keemasan. Ornamen khas terpasang di setiap sudut ruangan, menonjolkan ujung berbentuk tanduk lancip.
Musik  Saluang mendominasi ruangan, membuka prosesi adat pernikahan yang sakral. Lantunan doa dipanjatkan, bagi kedua mempelai agar menjadi keluarga Sakinah.