Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pertengkaran Suami Istri itu Biasa Asal Jangan Berlarut- larut

6 September 2017   04:11 Diperbarui: 6 September 2017   04:58 3299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski sudah menjadi sepasang suami istri, hakikatnya tetaplah dua pribadi berbeda. Sudah  pasti, masing masing memiliki karakter dan pembawaan sendiri sendiri.

Bagaimana tidak beda, sebelum menjadi pasangan suami istri, dua orang laki laki dan perempuan adalah orang lain. Otomatis, tumbuh dari latar belakang dan lingkungan berlainan.

Sebelum menjadi suami istri, masing masing memiliki orang tua, teman dan lingkungan pergaulan. Semua yang terjadi dan dialami mulai dari masa kecil, sadar atau tidak mempengaruhi tumbuh kembang, sifat dan karakter.

Semakin beranjak dewasa, dibarengi dengan meluasnya pergaulan dan interaksi. Jaringan pertemanan mulai melebar, mengantar pada pengalaman demi pengalaman kehidupan.

Pada setiap peristiwa keseharian, akan mempertemukan seseorang dengan pihak lainnya. Membuka celah interaksi atau pergesekkan, bahkan memberi ruang saling bertukar pikiran. Selanjutnya terserah setiap orang, aneka perasaan tumbuh berkelindan sesukanya.

Setelah saling mengenal. ada yang berhenti sebatas pertemanan saja. Namun tidak menutup kemungkinan lho, berlanjut pada keputusan serius yaitu hidup bersama. Semua sangat bisa terjadi, setelah masa penjajakan sembari menyamakan persepsi dan mencocokkan pemikiran.

Pernikahan sebagai hukum alam, dicontohkan sejak kehadiran manusia pertama di muka bumi yaitu Adam dan Hawa. Peristiwa yang bernama pernikahan, adalah sebuah keniscayaan, baik disuka atau tidak, dengan sukarela atau terpaksa, melalui penerimaan ataupun disangkal.

Pernikahan sebagai babak baru kehidupan, senantiasa membawa kejutan demi kejutan. Pernikahan ibarat kawah penggemblengan, melatih ego untuk mengalah semengalahnya demi keselarasan dua pihak.

Pada awal perkawinan, masa bulan madu terasa manis penuh keindahan. Jalan dipijak bertabur semerbak bunga, suami dan atau istri saling menjaga perasaan. Berusaha mempersembahkan sikap terbaik, segala tingkah laku begitu diperhitungkan.

Kata kata terangkai menjadi kalimat, terucap bibir dan nyaman ditangkap gendang telinga. Tindak tanduk pasangan yang kurang sreg dimaklumi, pendek kata maaf terbuka lebar atas setiap kesalahan.

Ah kemesraan itu, direguk pasangan pengantin baru dimabuk asmara. Dunia terasa begitu nikmat, apa yang terpantul di bola mata keindahan semata.

-0o0-

Sumber: onsizzle.com
Sumber: onsizzle.com
Masalahnya, sampai kapan keindahan bertahan. Seberapa lama, segala yang sedap akan awet. Seiring perjalanan waktu, semua akan kembali pada hidup yang sesungguhnya. Perlahan tapi pasti, sifat asli pasangan akan muncul dengan sendirinya.

Bisa saja dalam beberapa bulan, atau bisa saja muncul hanya setahun awal pernikahan. Semua tergantung setiap pasangan, bagaimana memupuk dan memelihara keindahan perkawinan.

Eh tapi jangan salah lho, keindahan perkawinan itu ada yang bertahan sepanjang usia pernikahan---keren kan (Saya kerap iri dan ingin belajar, pada kakek nenek yang masih mempertahankan kemesraaan dan rukun).

-000-

Layaknya sebuah hubungan, mustahil kalau suami istri tidak pernah berantem. Semesra-mesranya pasangan suami istri, tetaplah hakekatnya dua orang berbeda. Memiliki isi kepala tidak sama, memiliki kemauan dan keinginan untuk dipenuhi.

Pasti ada saat, berbeda pendapat dan pemikiran. Nah kalau sudah begini, namanya marahan tidak bisa dielakkan.

Mulai merasakan kerikil kerikil permasalahan, mewarnai perjalanan rumah tangga yang harus dilewati bersama. Seiring berjalannya waktu, suami dan atau istri dengan pennuh kesadaran mau introspeksi.

Yup, introspeksi sebagai solusi, agar sebuahh pasangan bisa terus bergandenganan tangan. Marahan suami istri itu wajar, tapi jangan lama lama dan berlarut larut. Kalau masih tidak ada yang mengalah, berarti pasangan ini belum berhasil mengendalikan ego.

Marahan suami istri tetap diperlukan, selama outputdidapat adalah peningkatan sikap saling memahami. Ada kala tidak bagus memendam perasaan, semakin cepat diutarakan semua masalah cepat kelar dan diselesaikan.

Suami istri yang terlihat mesra sekalipun, saya yakin mereka pasti pernah berbeda pendapat. Namun perbedaan itulah yang mengeratkan mereka, setelah bisa mengelola dan mengkompromikan.

Pernikahan itu memang unik, menyatukan dua orang berbeda kemudian memproses menjadi pribadi yang lebih stabil dari sisi mental. So, suami istri tidak usah anti pada marahan. Tapi jangan berlarut larut, dan pikirkan dampak jangka panjang.

Kalau suami dan istri rukun, kan anak anak juga punya role model jika kelak mereka dewasa dan menikah. -- salam rukun selalu ya-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun