Awal puasa tahun ini, sungguh perasaan saya cukup was-was. Pasalnya gadis kecil dirumah kami sudah lulus taman kanak- kanak, ada keinginan si ayah agar ragil bisa puasa sehari penuh. Kalau dari kecil sudah tumbuh kesadaran, saat besar tidak perlu diperintah berpuasa.
Untungnya setahun sebelumnya, saat umur lima tahun sudah dilatih puasa bedug/ setengah hari. Setidaknya sudah tidak asing dengan puasa, bisa turut merasakan perjuangan tidak makan dan minum.
Saya berusaha memutar otak, mencari cara agar gadis kecil ini sanggup puasa seharian. Beberapa kalimat saya rangkai, agar mudah dipahami dan tidak terkesan memaksa.
“Waktu adik TK B, sudah puasa setengah hari ya”
Wajah polos itu menantap ayahnya, masih dengan sorot mata penuh tanda tanya. Jelas sekali si anak belum paham, mau kemana arah pembicaraan si ayah. Saya sendiri masih meraba-raba, bibir ini mengeluarkan kata-kata semau sendiri. Belum ada sinkronisasi dengan otak, sehingga saya biarkan sesukanya.
“Dulu waktu umur enam tahun, Kakak sudah kuat puasa sehari lho. Kali pertama kakak puasa sehari, langsung genap puasa sebulan tanpa batal.”
Tiba-tiba saya merasa menemukan kata pembuka yang pas, sehingga mudah menggiring pembicaraan menuju tujuan yang dimaksud.
“Alhamdulillah” bisik saya dalam hati
Beberapa anak tetangga yang teman sepermainan, juga sudah genap puasa seharian sejak kelas satu. Nama-nama geng’s adik disebut satu persatu, menjadi amunisi untuk membangkitkan semangat gadis kecil ini berpuasa.
Sungguh si ayah sangat berhati-hati, menghindari kalimat perintah dalam dialog ini. Agar si adik mau menjalankan puasa, semata-mata niat itu timbul dari keinginan sendiri dan bukan karena “takut” atau dipaksa ayahnya.
Wajahnya terlihat mulai paham maksud si ayah, guratan ceria masih terpancar di parasnya. Menunggu jawaban si adik, ternyata tak kalah bikin deg-degan.