Zaman sekarang sudah bukan hal ganjil, kalau melihat hubungan anak dan orang tua terkesan lebih cair dan terbuka. Derasnya arus informasi dan tingkat pendidikan orang tua, membuat pergeseran sudut pandang dan pemikiran.
Waktu saya masih kecil, ayah menampilkan diri menjadi sosok begitu kaku dan (seolah) butuh pengakuan. Saya mendapati pada ayah saya sendiri, atau pada ayah teman-teman semasa SD atau SMP.
Para ayah biasanya lebih banyak diam, mengatur pembawaan diri sedemikian rupa pada anaknya. Tak ayal kami para anak, sangat segan berbincang apalagi berakrab-akrab. Bicara hanya seperlunya saja, itupun enggan menengadahkan wajah.
Hanya berani menjawab “iya”, tanpa kata tapi apalagi membantah. Bisa dibayangkan betapa perasaan tidak nyaman, apabila komunikasi terjadi hanya searah. Kedekatan pada ibu menjadi penyelamat, ketika anak-anak membutuhkan tempat bercerita.
Baru pada generasi saya menjadi ayah, perubahan itu mulai terjadi. Setidaknya saya memulai dari diri, tidak menjaga jarak pada buah hati. Anak-anak lebih bebas berekspresi, mengungkapkan apa yang dirasakan pada kami orang tuanya.
Tinggal bagaimana setiap ayah, bisa membawakan diri sebaik-baiknya dihadapan anak. Agar anak tidak “ngelunjak”, apapun kemauanya selalu minta dituruti. Untuk satu hal ini, tugas ayah adalah tiada henti belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik.
Semakin dekat hubungan ayah dengan anak, lazimnya si anak cepat reaktif terhadap sikap ayah. Anak tak sungkan memberi kritik atau pujian, atau perasaan yang terlintas di benak si anak.
-oo0oo-
Saya ayah memiliki anak lelaki, jagoan yang dari kecil digadang-gadang kini menjelang baliq. Saya beruntung bisa merasakan tahap demi tahap, bagaimana pertumbuhan lelaki kecil ini berubah dari waktu ke waktu.
Pada usia anak masuk taman kanak, relatif sangat lengket dengan saya ayahnya. Hampir tiada ayah tanpa anak di sampingnya, kemana pun pergi selalu mengekor. Bahkan kalau mungkin, dalam mimpi sekalipun ayah bersama anak selalu berdua.
Kesan repot memang ada, tapi sungguh saya berusaha menikmatinya. Karena terpatri keyakinan, bahwa keadaan ini hanya sesaat dan akan berlalu pada waktunya.