Tapi saya punya strategi, dengan memberi pekerjaan tambahan bagi si pengejek. Pada saat situasi kantor sedang sepi, si pengejek saya todong balik menjadi mak comblang. Saya tak ragu bertanya pada kenalan lainnya, mungkin ada saudara perempuan yang sedang mencari calon suami. Bahkan pernah mengesampingkan rasa malu, bertanya pada ibu kost kalau ada anak gadis dari saudaranya yang bisa diajak kenalan --namanya usaha hehehe.
Kita tidak akan pernah tahu, melalui pintu mana datangnya jodoh akan terbuka. Lagian mengapa musti malu, toh minta dicomblangin bukan tindakan yang mengandung dosa. Pokoknya usaha dan terus berusaha, agar Mestakung menghampiri diri yang merana ini #Hadeuh.
Eit's siapa sangka, dari banyak teman yang saya tanya akhirnya jalan itu terbuka. Justru bukan dari orang yang diminta tolong, tapi dari teman punya teman nah masih temannya lagi #halah--bingungkan hehehe.
Hikmah yang saya petik sejauh ini, kalau ibu tidak "cerewet" saat itu. Mungkin saja, sampai sekarang saya tetap menjadi bujang pada usia matang ---atau sangat senior hehehe. Kalau teman kantor dan sepergaulan tidak "ngeselin" kala itu, mungkin sudut pandang bahagia yang saya anut masih prespektif yang lama. Yaitu bebas kemana suka, bisa membeli ini membeli itu untuk diri sendiri selebihnya memiliki tabungan. Padahal ada prespektif bahagia yang melebihi, dari sekedar kepemilikan dan dinikmati sendiri.
Tak bisa dipungkiri, kadang kita membutuhkan orang-orang yang memantik semangat berusaha. Orang-orang yang terkesan ngeselin (atau memang benar-benar ngeselin), kalau disikapi dengan tepat justru memberi dampak baik bagi diri. Apalagi kalau ibu yang nanya kapan menikah, bisa jadi mestakung sedang menunggu reaksi proaktif kita. -salam semangat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H