[caption id="attachment_416067" align="aligncenter" width="574" caption="Ilustrasi- dokpri"][/caption]
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah Shallallahualaihiwassalam bersabda,
’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”(HR. Thabrani dan Daruquthni)
Point dari Hadist tersebut di atas adalah, sikap ramah dan kemanfaatan. Jalan menuju kemanfaatan tersedia disetiap jengkal, bahkan melalui cara yang sangat sederhana. Memberi senyuman saat bersua dengan sesama, menyapa apabila mengenal namanya. mempersembahkan kalimat baik kepada orang tua, kerabat, teman dan sahabat.Bahkan sekedar menyingkirkan kayu melintang di jalanan, adalah rangkaian sikap mulia yang terkesan sepele.
Namun siapa nyana siapa kira, bahkan kebaikan sebesar biji sawipun tak akan luput dari perhitungan. Menambah berat timbangan kebaikan, kelak saat tiba di hari perhitungan. (Subhanallah..)
Sekarang yang jadi masalah, apakah hal terkesan kecil dan sepele itu menjadi bagian dari keseharian. Karena tanpa pembiasaan tak usah berharap, timbul inisiatif untuk sekedar tersenyum. Apalagi menyapa, apalagi harus beranjak, demi menyingkirkan kayu melintang. Apabila hal yang sepele itu sudah menjadi kebiasaan, maka akan menjadi reflek dan tak perlu diingatkan. Seperti saat orang sudah terbiasa mengemudikan mobil, ketika di depan ada pagar otomatis kaki kanan akan menginjak rem, itulah fungsinya pembiasaan. Kebiasaan yang diulang ulang akan menimbulkan efek otomatis, otak akan bekerja dengan sendirinya tanpa disuruh tanpa diperintah.
Agen Kebaikan
Masing masing manusia membawa keunikkan, sungguh sempurna kebesaran Tuhan yang menciptakan manusia. Setiap individu dengan spesifikasi khusus, tidak dimiliki oleh individu lain. Pun seorang yang lahir secara kembarpun tetap memilik perbedaan, sifat sekecil apapun akan membedakan. Jadi bolehlah setiap diri berbesar hati, bahwa di dunia ini manusia dengan spesifikasi seperti diri kita adalah diri kita sendiri. Tak ada yang menyamai seratus persen, tak ada yang plek ketiplek persis.
Rancangan Tuhan pasti sudah diatur sedemikian rupa, agar manusia satu dengan yang lain saling mengenal dan saling membutuhkan. Seorang yang jago otomotif tetap juga membutuhkan tukang masak untuk mengisi perutnya. Chief hotel berbintang yang tersohor dengan bayaran termahal, akan membutuhkan tukang jahit untuk membuat seragamnya. Seorang designer papan ataspun, bisa jadi membutuhkan mbok tukang jamu ketika badan hendak masuk angin.
Itulah dunia diciptakan agar masing masing kita saling mengenal agar masing masing kita saling bekerjasama, agar saling melengkapi dan saling memberi manfaat. Peluang kehidupan yang indah memungkinkan setiap kita bisa menjadi agen kebaikan
Luruskan Niat
Kebisaan yang dimiliki haruslah diasah, dirawat maksimalagar menjelma menjadi ahli. Dengan menjadi seorang hali, akan beda nilainya apresiasinya. Pekerjaan memasak mungkin banyak orang mampu melakukannya, tapi kalau keahlian memasak tak semua orang bisa meraihnya. Untuk mengenggam keahlian dibutuhkan proses panjang, seorang yang ahli memasak akan mampu menakar komposisi bumbu yang tepat dalam sebuah masakan, mampu mengkombinasi rasa, agar makanan menggugah selera. Proses itulah yang tak semua orang mau, tak jarang bahkan enggan menjalani.
Mungkin setiap orang bisa menyanyi, tetapi tidak semua orang paham tehnik menyanyi. Penyanyi profesional paham notasi, mampu mengelola nafas dan mengatur kebutuhan nada dalam sebuah lagu. Inilah yang membedakan orang yang sekedar menyanyi, dengan orang yang berprofesi sebagai penyanyi
Dengan menjadi seorang yang profesional di bidang yang digeluti, akan meningkatkan “nilai” seseorang. Masakan hasil tukang masak yang ahli, jauh lebih mahal dibanding hasil masakan seorang yang biasa. Baju hasil jahitan designer akan berbeda, dengan hasil tukang jahit yang biasa biasa saja. Tiket pertunjukkan penyanyi yang profesional akan diantre penggemarnya, daripada seorang yang sekedar menyanyi.
Namun terlepas dari sekedar sebuah nilai, ada yang satu sikap yang berada diatasnya yaitu niat. Seorang yang sudah menjadi profesional, ada baiknya selalu meluruskan niat. Tentu agar hasil karyanya bisa dinikmati, sebanyak orang untuk kebaikan. Tanpa meluruskan niat bisa membuat kawatir, tumbuh sikap jumawa menjerumuskan pada sikap tinggi hati. Ketika keahlian anugerah Tuhan, hanya dijadikan ajang memanjakan egoisme pribadi, maka biasanya tidak akan langgeng
Menulislah
( seorang ulama Imam Al Ghazali berpesan “kalau kau bukan anak raja dan kau bukan anak seorang ulama maka menulislah”.)
Saya merasa berbangga menjadi kompasianer, berkumpul dengan penulis yang luar biasa. Selalu ada tantangan untuk lebih produktif, menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Kadang ada perasaan sedih atau kecewa, ketika hits segelintir hanya beberapa yang membaca tulisan.
Namun dengan tekad meluruskan tujuan dari menulis, maka niat memberi kemanfaatan musti lebih dikedepankan. Yang lebih utama adalah terus belajar menulis, agar sense of writing terus terasah, menikmati proses yang disediakan oleh kehidupan. (salam)